OLEH : M.RADIFAN PUTRA
Ketika guru sejarah kami memberikan tugas untuk membuat artikel tentang suatu artefak yang ada di museum, pikiran saya langsung tertuju pada museum nasional atau museum gajah yang terletak di dekat monas. Kebetulan saya belum pernah satu kali pun mengunjungi museum gajah, karena selama ini saya saya lebih sering ke museum fatahillah yang terletak di daerah kota tua. Menurut pendapat saya museum gajah adalah museum yang sangat menarik, dengan pilar-pilar berwarna putih yang terletak di bagian depan gedung, patung gajah yang merupakan simbol dari museum ini sehingga masyarakat Jakarta lebih mengenal museum nasional ini dengan sebutan “museum gajah”, halaman museum gajah yang lumayan luas dan cukup “hijau” apabila dilihat dari luar makin menambah rasa penasaran saya akan museum gajah ini. Museum gajah ini memang mudah untuk di capai, bisa dengan menggunakan tranportasi umum seperti transjakarta atau dengan mobil pribadi namun yang menjadi masalah buat saya adalah waktunya. Pemberian tugas ini yang bertetapan dengan pekan-pekan ulangan mata pelajaran eksak IPA, seperti matematika, fisika, dan biologi membuat saya sulit mencari waktu luang agar tugas ini bisa terselesaikan tepat waktu. Akhirnya saya menemukan kesempatan untuk mengunjungi museum gajah, bersama lima orang teman, saya akhirnya pergi ke museum gajah.
PERJALANAN MENUJU MUSEUM GAJAH
Saya bersama kelima teman saya, yaitu Andry, Heza, Okti, Olaf, dan Yoga mengunjungi museum gajah pada hari Jumat, 20 Mei 2011 dengan menggunakan bus transjakarta. Pada awalnya kami berencana untuk menumpang mobil teman menuju ke museum gajah, namun karena tidak cukup maka kami memutuskan untuk naik bus transjakarta saja. Perjalanan kami awali dengan menaiki bus metro mini 72 yang kebetulan lewat di depan sekolah kami sampai ke kolam renang Bulungan, kemudian kami berjalan kaki dari Bulungan sampai ke halte busway yang terletak di depan Al-Azhar Pusat, di daerah Kebayoran Baru, Jakarta. Sesampainya disana, sekitar pukul 2 siang, kami berenam membeli tiket busway seharga Rp. 3.500 per lembar, kemudian setalah menunggu cukup lama, akhirnya kami menaiki bus transjakarta menuju museum gajah. Perjalanan menuju museum gajah cukup lama kira-kira sekitar 45 menit, melewati halte Bundaran Senayan, Gelora Bung Karno, Polda Metro, Semanggi , Karet, Setiabudi, Dukuh Atas, Tosari, Bundaran Hotel Indonesia, Sarinah, Bank Indonesia kemudian yang terakhir adalah halte Museum Nasional yang menjadi tujuan kami. Kemudian kami turun dari bus transjakarta dan kemudian masuk ke dalam museum gajah. Sesampainya disana kami membeli tiket dengan harga khusus pelajar yaitu Rp. 2.000 per lembar dan akhirnhya kami pun mencari artefak yang akan kami buat artikelnya.
PEMILIHAN ARTEFAK
Sesampainya di museum gajah,kami berenam mulai mencari artefak-artefak yang akan menjadi bahan tugas kami. Pencarian kami bermula dari ruang arca,di dalam sini terdapat banyak partung-patung dan prasasti yang ditemukan di seluruh derah nusantara, kemudian pencarian kami lanjutkan ke bagian lain dari gedung. Kami melihat banyak artefak-artefak mulai dari kebudayaan dari papua, yaitu perahu asmat sampai koteka yang menjadi ciri khas suku di papua, kemudian kebudayaan-kebudayan dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Barat,Sulawesi,Batak, dan Jawa. Di bagian kebudayaan Jawa terdapat berbagai jenis gamelan,seperti gamelan jawa dan gamelan banten ada juga karapan sapi serta berbagai jenis keris yang tersebar di seluruh jawa. Di bagian ini juga terdapat miniatur pulau jawa yang cukup besar, lengkap dengan peta-peta daerah jawa serta gunung gunung berapi yang ada di pulau terpadat di Indonesia ini. Namun yang menarik perhatian saya adalah berbagai jenis topeng yang ada di daerah Jawa, mulai dari topeng Jogjakarta, Malang, Surakarta, Cirebon hingga daerah Bali. Berbagai jenis koleksi topeng dari dearah Jawa dan Bali yang ada di museum nasional membuat saya tertarik untuk membuat artikel tentang kebudayaan topeng ini,khususnya di daerah Malang, Jogjakarta, dan Bali.
TOPENG DI INDONESIA
Di indonesia topeng pada awalnya berfungsi sebagai alat untuk berhubungan dengan arwah nenek moyang, dapat dilihat pada upacara-upacara adat suku Batak (Sumatra Utara), masyarakat sekitar Tolage-Alfur ( Sulawesi Tengah ), dan juga pada upacara Tiwah pada suku Dayak di Kalimantan. Di Cirebon - Jawa Barat pertunjukan seni topeng juga tumbuh dari upacara magis untuk menghormati nenek moyang di dalam upacara Ngunjung, yaitu upacara menghormati arwah leluhur dengan pertunjukan topeng untuk memohon berkah dari buyut-buyut atau leluhur di makam mereka yang dikeramatkan. Akan tetapi, dengan masuknya agama Islam dan Kristen di Indonesia dan makin kuat pengaruhnya dalam masyarakat, maka kepercayaan itu menjadi tipis atau bahkan menjadi hilang sama sekali sehingga upacara pemanggilan roh tidak lagi diselenggarakan oleh masyarakat. Dan pertunjukan topeng, sekali pun masih diadakan, sudah dalam bentuk yang lebih sekuler. Pada perkembangannya pertunjukan topeng banyak mengambil tema lakon dari ceritera Panji yang ditulis pada abad XIV sehingga secara perlahan sifat yang semula sakral berubah menjadi seni pertunjukan.
Topeng berdasarkan tradisi Jawa, pertunjukan topeng itu diciptakan pada tahun 1586 oleh Sunan Kalijaga, putra Bupati Tuban yang sangat gemar akan kesenian dan akhirnya menjadi salah seorang wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Topeng ini selanjutnya menyebar dan terus tumbuh dan berkembang kesegenap daerah dengan ciri dan corak masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya.
FOTO SAYA BERSAMA TOPENG JOGJAKARTA DI MUSEUM NASIONAL
TOPENG JOGJAKARTA
Dalam pagelaran Wayang Wong yang diciptakan oleh Hamengku Bhuwono I ( 1755-1792 ) dalam pengekspresian karakter gerak tari tokoh-tokoh wayang untuk peran kera dan raksasa dalam pentas Ramayana maupun Mahabharata pemainnya dilengkapi dengan pemakaian topeng, sedangkan untuk tokoh satria dan wanita tidak mengenakan topeng.
Dalam pementasan Wayang Orang Gedog punakawan Pentul dan Tembem mengenakan topeng separuh muka sehingga dapat berdialog secara leluasa tanpa mengangkat topeng. Lain halnya dengan pementasan ceritera Panji para pemainnya mengenakan topeng dengan cara agak direnggangkan sedikit sehingga pemain dapat mengucapkan antawacananya. Pada topeng gaya Yogyakarta kumis dibuat dengan cara menyungging warna hitam.
Salah satu jenis dari topeng Jogjakarta adalah topeng Suromadendo (Suropandogo), topeng ini terbuat dari kayu, batu mulia, kaca dan bulu kuda. Tokoh Suromadendo merupukan perwujudan satria raksasa yang jahat dan kasar tetapi juga gagah berani.
TOPENG MALANG
Sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui kalau souvenir khas Malang adalah topeng, Bahkan di setiap acara yang berhubungan dengan Malang baik di Malang maupun di seluruh Indonesia mulai dari seni tari nya sampai kesenian wayang nya, , semua sepakat, topeng Malang adalah satu-satunya jawaban perwakilan budaya Malang. Sebelum semua bersuara topeng Malang harus dilestarikan, diselamatkan bahkan dikembangkan, ada baiknya mencoba untuk mengetahui terlebih dahulu apa, siapa, dan bagaimana topeng Malang itu. Topeng Malang merupakan pementasan wayang Gedog yang dalam pertunjukannya mempergunakan topeng. Dalam perkembangannya di Kedungmoro dan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Malang yang dikenal dengan sebutan Topeng Jabung. Dalam pementasannya mengetengahkan cerita-cerita Panji dengan tokoh-tokohnya seperti : Panji Inu Kertapati, Klana Swandana, Dewi Ragil Kuning, Raden Gunungsari, dll. Para penari mengenakan topeng dan menari sesuai dengan karakter tokoh yang dimainkan. Dalam pementasan dipergunakan tirai yang terbelah tengah sebagai pintu keluar/masuk para penarinya.
Wayang topeng Malang mempunyai ciri khas di bidang kesenirupaan, tata busana, iringan musik gamelan, dan cerita yang dimainkan (Supriyanto, 2004:12). Cerita topeng Malang yang digunakan penari, pengukir, dan Ki Dalang topeng Malang bersumber pada ragam sastra lisan cerita Panji yang ruang, waktu, dan suasananya mengacu pada peristiwa sejarah pada zaman Singhasari, Kediri, Daha, dan Tanah Seberang Jawa (Tanah Sabrang) zaman Prabu Airlangga (1019-1041M) dan Prabu Jayabaya (1130-1157M). Ragam hias pada topeng Malang, antara lain: ragam hias Urna (pada bagian kening), ragam hias Dahi (menunjukkan sifat kebangsawanan, seperti Melati, Kantil, dan Teratai), dan ragam hias Jamang (Irah-irahan, tutup kepala). Warna pada topeng menunjukkan karakter tokoh dalam dunia pewayangan. Warna putih menggambarkan jujur, suci, dan berbudi luhur. Warna kuning menggambarkan kemuliaan. Warna hijau menggambarkan watak satria dan warna merah untuk raksasa menggambarkan angkara murka. Pembukaan wayang topeng khusus di Tumpang menggunakan tari pembuka Beskalan atau Srimpi Limo.
Maestro Topeng Malang, yang tetap melestarikannya adalah Mbah Karimun bersama istrinya Siti Maryam, dengan tetap melatih anak-anak kecil di lingkungannya untuk belajar membuat Topeng Malang dan tari Topeng Malangan. Mbah Karimun lahir pada tahun 1910. Orang tuanya adalah, Bapak Kimun dari Ponorogo dan Ibu Jamik dari Bangil, Pasuruan tinggal di desa Bangelan Pakis. Topeng Kedung Monggo sendiri berasal dari kakek Mbah Karimun yang bernama Ki Serun, warok asli Ponorogo yang terpaksa mengungsi ke Malang karena dikejar tentara Belanda. Mulai tahun 1933 Mbah Karimun mendirikan sanggar bernama Sanggar Pendowo Limo, tahun 1978 berganti nama sanggar Asmoro Bangun yang berarti Cinta Kebaikan. Sejak saat itu Mbah Karimun mengajar di berbagai sanggar, antara lain di desa Genengan, Kaseran, Sutojayan, Wonokerto, Palakan, Plaosan, Kranggan, Nglowok dan Ngajum (Karimun, 2000-2007). Lakon induk yang sangat populer adalah lakon ‘Rabine Panji’, lakon ini mengisahkan perkawinan Panji Reni dengan tokoh utama Panji Inukertapati, Dewi Anggraeni, dan Dewi Sekartaji. Jumlah topeng Malang yang asli adalah 6 buah, yaitu Klono, Bapang, Panji, Sekartaji, Gunungsari, dan Ragil Kuning.
TOPENG BALI
Seni pertunjukan mempergunakan topeng di Bali sudah berkembang sejak zaman pemerintahan raja Jaya Pangus sekitar abad X. Dalam kumpulan prasasti Jaya Pangus ini sudah ditemui beberapa istilah-istilah seperti: atapukan yang artinya pertunjukan yang mempergunakan alat-alat penutup muka (topeng). Selain itu, di Bali ditemukan beberapa buah prasasti yang memuat tentang kesenian topeng, salah satunya adalah prasasti Bebetin (tahun 896 Masehi), yang menyebutkan pertunjukan topeng sebagai atapukan. Di samping itu keberadaan topeng juga disebutkan dalam prasasti Blantih sekiktar tahun 1059 masehi.
Di Bali Topeng bukan hanya sekadar seni tari belaka, tetapi topeng juga menjadi pelengkap dalam ritual keagamaan karena itu sering juga disebut dengan topeng wali. Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain atau bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad.
Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan - yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Jenis-jenis dramatari topeng yang ada di Bali adalah :
1. Topeng Pajegan, yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang dibawakan.
2. Topeng Sidakarya, Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng Wali. Dramatari Topeng hingga kini masih ada hampir diseluruh Bali
3. Topeng Panca, yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari yang memainkan peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan lakon,
4. Topeng Prembon, yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.
Sekian dari saya, terima kasih.
0 comments:
Post a Comment