Oleh: Astari Nandhiasa
Kota Yogyakarta identik dengan banyaka hal: batik, becak, gamelan, gudeg, bakpia, kue kipo dari Kota Gede, wedang ronde, pecel lele, wedang uwuh, dll. Maaf kalau saya terlalu banyak menyebutkan nama makanan. Tapi ada satu lagi yang sangat khas Yogya, dan kali ini bukan makanan: delman. Walau jumlahnya sudah sangat berkurang dibandingkan 10 tahun lalu, delman masih mudah ditemukan di Yogya.
Delman sendiri bukan hanya kendaraan bagi rakyat biasa. Atau rakyat jelata seperti saya. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sendiri juga punya delman-delman khusus yang hanya boleh dipakai oleh keluarga Sultan. Delman di keraton tidak disebut dengan delman, tetapi kareta. Kareta-kareta tersebut sekarang disimpan di dalam Museum Kareta Karaton Ngayogyakarta.
Mungkin ada yang berpikir saya salah mengetik Museum Kereta menjadi Museum Kareta. Tapi memang tulisannya Kareta, bukan Kereta. Jangan tanya saya kenapa bisa begitu. Saya juga tidak tahu kenapa. Museum Kareta letaknya tidak jauh dari Keraton. Jaraknya sekitar 150 meter di sebelah kiri keraton.
Kunjungan ini adalah kunjungan ketiga kalinya saya ke Museum Kareta. Yang pertama saat saya masih SD, kedua saat SMP, dan ketiga kalinya kalinya saat guru sejarah saya bernama Pak Shobirin. Kunjungan ketiga itu terjadi pada tanggal 23 April 2011. Sebelum masuk museum, saya membeli tiket masuk seharga Rp 3.000,- dan tanda ijin memotret seharga Rp 1.000,-.
Begitu masuk saya langsung didampingi oleh seorang guide. Semua guide di Museum Kareta merupakan abdi dalem Keraton. Bahkan guide yang mendampingi saya mengaku sudah mengabdi selama 32 tahun walau pun gajinya hanya Rp 2.500,- per bulan. Percaya atau tidak percaya, memang para abdi dalem mempunyai kesetiaan yang sangat tinggi pada Sultan. Menurut guide saya, yang penting bagi para abdi dalem bukanlah nominal gaji yang mereka terima, tapi pengabdian seumur hidup mereka pada Sultan.
Di samping Museum Kareta ada istal kuda. Dulunya di istal ada banyak kuda untuk menarik kereta, tapi sekarang tinggal tersisa satu kuda. Saya lupa tidak menanyakan ke mana kuda-kuda yang lain. Mungkin kuda yang lain sudah uzhur dan sudah dikebumikan. Kalau ternyata salah, saya minta maaf kepada pihak Keraton karena saya membuat analisis sendiri.
Museum Kareta sebenarnya merupakan garasi bagi kereta-kereta Keraton. Di sana terdapat 23 kereta yang memiliki fungsi berbeda-beda. Ada kereta bagi putra Sultan, kereta untuk pelantikan, kereta perang, dll. Karena tidak mungkin menceritakan semuanya sekaligus, saya memilih satu kereta saja, yaitu Kareta Kanjeng Nyai Jimad. Dan saya baru sadar, Pak Shobirin memang memang mengizinkan kami menceritakan satu artefak saja.
Kareta Kanjeng Nyai Jimad adalah kereta yang paling tua di Museum Kareta. Kereta ini merupakan peninggalan Sultan Hamengkubuwono I. Sebenarnya Kareta Kanjeng Nyai Jimad dibuat di Belanda pada tahun 1750. Tapi yang memberikannya kepada Kesultanan Yogyakarta justru Spanyol. Saat itu Spanyol memiliki hubungan perdagangan dengan Keraton.
Dulu Kareta Kanjeng Nyai Jimad dipakai sebagai alat transportasi sehari-hari Sultan Hamengkubuwono I – III. Selain itu pelantikan Sultan Hamengkubuwono I – V juga menggunakan kereta ini. Jadi bisa dibayangkan betapa tua dan pentingnya kereta yang satu ini.
Kuda yang dipakai untuk menarik Kareta Kanjeng Nyai Jimad berjumlah delapan. Kuda-kudanya juga bukan sembarang kuda, tapi harus kuda putih. Dulu pihak Keraton memang memelihara kuda-kuda putih di istal, tapi sekarang sudah tidak ada. Karena itu jika Keraton hendak menggunakan Kareta Kanjeng Nyai Jimad, mereka akan meminjam kuda dari Kavaleri Bandung. Kuda-kuda itu akan melewati semacam seleksi atau audisi dulu sebelum dipilih. Delapan kuda terbaik lah yang nantinya mendapat kehormatan menarik Kareta Kanjeng Nyai Jimad.
Saat saya masih SD, tidak semua orang bisa mengambil gambar Kareta Kanjeng Nyai Jimad dengan kamera. Bukan karena dilarang oleh para abdi dalem, tapi hampir di semua foto kereta tersebut tidak nampak. Jadi jika 10 tahun lalu Anda mencoba mengambil gambar Kareta Kanjeng Nyai Jimad, bisa saja Anda hanya mendapatkan gambar hitam.
Kebetulan ibu saya dulu bisa mengambil gambar kereta keramat itu. Kalau dipikir-pikir ibu saya hebat juga. Tapi sudah sejak 2 tahun yang lalu pihak Keraton mengadakan ritual untuk memohon agar Kareta Kanjeng Nyai Jimad bisa difoto. Jadi saya bisa menyertakan foto saya dengan kereta itu untuk tugas yang satu ini.
Walau begitu, tetap saja ada bagian dari kereta yang tidak bisa difoto dengan jelas. Misalnya hiasan perempuan di bagian depan kereta. Kalau diperhatikan, di foto saya ada bagian kelabu pada hiasan perempuan tersebut. Padahal aslinya semua bagian terbuat dari kayu dan tidak ada yang berwarna kelabu. Biar pun sudah ganti kamera, tetap saja warna kelabu itu tidak hilang.
Sebenarnya hiasan perempuan itu memiliki arti tersendiri. Berdasarkan Perjanjian Giyanti, wilayah Kerajaan Ngayogyakarta mencakup Hutan Beringin di desa Pachetokan. Saat akan membuka Hutan Beringin, Sultan Hamengkubuwono I meminta ijin terlebih dahulu pada penunggu hutan itu. Guide saya menyebut sang penunggu dengan panggilan “beliau”.
“Beliau” mengijinkan Hutan Beringin dijadikan ibu kota Yogya, dengan syarat “beliau” diperistri dan mendampingi keluarga Keraton secara turun termurun. Saya sendiri kurang mengerti apa yang dimaksud dengan memperistri “beliau”. Akhirnya pada bagian depan Kareta Kanjeng Nyai Jimad diberi hiasan perempuan yang merupakan symbol dari “beliau”. Hiasan perempuan tersebut selalu diberi ronce bunga karena “beliau” menyukai ronce bunga.
Hiasan yang terdapat pada Kareta Kanjeng Nyai Jimad tidak hanya hiasan perempuan. Di atas kereta ada hiasan yang kalau diperhatikan berbentuk mahkota raja. Arti dari hiasan tersebut adalah Kareta Kanjeng Nyai Jimad diperuntukkan bagi Sultan Yogya dan hanya boleh dipakai oleh Sultan. Bahkan putra mahkota pun tidak boleh menaikinya karena sebelum menjadi Sultan, putra mahkota memiliki kereta tersendiri.
Lalu di bagian depan ada hiasan naga. Lagi-lagi, hiasan naga ini merupakan symbol dari “beliau”. Menurut guide saya, “beliau” bisa berwujud apa saja, termasuk naga. Dengan meletakkan hiasan naga di depan, berarti Sultan saat menggunakan Kareta Kanjeng Nyai Jimad dilindungi oleh naga.
Kareta Kanjeng Nyai Jimad adalah salah satu kereta yang dikeramatkan. Karena itu orang-orang awam termasuk pengunjung museum tidak boleh sembarangan menyentuhnya. Untuk mencegah hal ini, di sekeliling kereta-kereta yang dikeramatkan diberikan tali pembatas. Tapi tetap saja ada orang yang iseng melanggar pembatas. Sering ada orang tua yang tidak menghiraukan pagar pembatas, lalu menyuruh anaknya duduk di tangga kereta atau menyentuh kereta untuk difoto.
Apa yang terjadi dengan anak-anak itu? Berdasarkan kesaksian para guide, anak-anak itu akan kejang-kejang, kemudian jatuh sambil berteriak-teriak. Saya tidak bohong, guide saya sendiri yang mengatakannya. Kejang-kejang itu baru berhenti saat pada abdi dalem membacakan doa. Makanya jika Anda berkunjung ke Museum Kareta, saya sarankan Anda benar-benar mengikuti aturan yang ada. Jangan merasa tertantang untuk melanggar aturan. Kalau cuma kejang-kejang masih untung, tapi kalau taruhannya nyawa, saya lebih memilih taat aturan. Sekali ini saja.
Di bagian dalam Kareta Kanjeng Nyai Jimad hanya tersedia tempat duduk untuk dua orang. Satu tempat duduk sudah pasti untuk Sultan Hamengkubuwono. Lalu tempat yang satu lagi untuk siapa? Untuk istri Sultan? Atau untuk putra mahkota? Ternyata bukan untuk kedua-duanya, lebih tepatnya tempat duduk itu bukan diperuntukkan bagi manusia. Ya, saya tegaskan sekali lagi, bukan untuk manusia. Tapi untuk “beliau”.
Seperti yang sudah saya sebutkan lagi, “beliau” meminta agar bisa mendampingi keluarga Sultan secara turun termurun. Ini adalah salah satu dari wujud pendampingan “beliau”. Karena itu di dalam Kareta Kanjeng Nyai Jimad, Sultan tidak boleh didampingi oleh manusia sekalipun istrinya.
Kalau begitu siapa yang mengendalikan kereta? Apakah tidak ada yang mengendalikannya? Atau “beliau” juga yang mengendalikan keretanya? Tidak seekstrem itu juga. Walau Kareta Kanjeng Nyai Jimad bisa dibilang kereta yang paling keramat, tetap saja kereta tersebut memerlukan kusir. Tempat duduk kusir ada di luar kereta, di bagian depan.
Layaknya ban mobil atau motor, ban Kareta Kanjeng Nyai Jimad terdiri dari ban dalam dan ban luar. Ban dalam dibuat dari kayu jati, sedangkan bagian luar ban dibuat dari besi. Bahan yang digunakan memang memiliki kualitas terbaik. Bahkan per kereta dibuat dari kulit kerbau.
Sebagai kereta yang dikeramatkan, Kareta Kanjeng Nyai Jimad selalu diberikan sesaji. Sesaji tersebut terdiri dari bunga, pisang raja, dan minuman. Ada aturan tersendiri dalam penyajian minumannya. Saat Jumat Kliwon, minuman harus berjumlah tujuh. Sedangkan pada Selasa Kliwon, sesaji terdiri dari sembilan jenis minuman. Minuman yang disajikan juga harus berbeda-beda. Tidak boleh ada dua jenis minuman yang sama.
Sebetulnya saya mencoba mengambil gambar sesaji dengan kamera saya. Namun entah kenapa yang muncul di layar kamera hanya warna hitam. Waktu saya mencoba kedua kalinya, tetap saja saya hanya mendapat foto hitam. Jadi saya relakan saja foto sesaji itu, walau sebenarnya saya ingin sekali mendapatkan gambar sesaji di depan kereta.
Perlakuan khusus bagi Kareta Kanjeng Nyai Jimad tidak hanya dalam hal pemberian sesaji. Setiap 1 Sura menurut penanggalan Jawa, kereta tersebut selalu dimadikan. Kemudian pada malam Jumat mulai jam 5 sampai jam 8, air yang dipakai untuk memandikan kereta menjadi bahan rebutan orang-orang. Umumnya orang-orang yang memperebutkannya adalah orang-orang yang masih menganut kejawen. Mereka berasal dari luar lingkungan keraton dan berasal dari semua agama.
Museum Kareta adalah museum yang sangat menarik. Apalagi dengan unsur budayanya yang sangat kental, daya tarik dari museum ini semakin bertambah. Kereta-kereta yang dipajang juga tidak sembarangan. Bahkan ada kereta yang terbuat dari emas asli, seperti emas di puncak Monas. Tapi tidak bisa dipungkiri juga kalau saya merasa agak merinding di dalam museum. Mungkin karena guide saya berulang kali menyebutkan “beliau”. Saat dia bercerita bahwa para abdi dalem sering mendengar bunyi dari kereta-kereta yang ada, jujur saja saya tambah merinding. Secara keseluruhan, Museum Kareta adalah museum yang ingin saya datangi lagi.
0 comments:
Post a Comment