Untuk tugas kedua sejarah ini, saya diminta untuk mewawancarai tokoh yang berperan dalam sejarah nasional. Namun karena saya tidak mempunyai keluarga atau relasi yang berperan dalam sejarah nasional, sayapun memutuskan untuk mewawancarai nenek saya, Anatje Mawikere Enoch yang merupakan saksi dari peristiwa Permesta di Manado. Permesta merupakan gerakan pemberontakan oleh masyarakat Manado, akibat tidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat.
Nenek saya, Anatje Mawikere Enoch, merupakan saksi hidup dari pemberontakan permesta. Beliau lahir di Manado, pada tanggal 24 Desember 1939. Nenek saya merupakan anak ke 5 dari 12 bersaudara. Ia tinggal di Manado sejak lahir sampai tahun 1975 kemudian pindah ke Jakarta. Ia menjalani pendidikan SD, SMP, dan SMA nya di Manado, tepatnya di ELS atau Europeesche Lagere School, yang berlokasi di Maumbi Manado. Sekolah itu merupakan sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda saat itu. Bahasa yang digunakan juga merupakan Bahasa Belanda, karena seluruh staff pengajarnya merupakan suster-suster Belanda. Setelah tamat dari ELS, nenek saya pun menikah dengan mendiang kakek saya, Alm. Handry Enoch, dan kemudian dikaruniai 6 anak, yang salah satunya adalah ibu saya, Baby Enoch yang merupakan anak ke enam atau anak terakhir. Demikian biografi singkat dari nenek saya.
Nenek menceritakan keadaan mereka pada tahun 1958, saat Permesta berpindah kedudukan dari Makasar ke Manado. Saat itu timbul kontak senjata antara Permesta dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Pemberontakan Permesta ini dimulai oleh Letkol Ventje Sumual, pada tahun 1957. Pusat pemberontakan ini awalnya di Makassar. Namun lama kelamaan masyarakat Makassar mulai tidak menyukai dan memusuhi pihak Permesta. Itu sebabnya markas besar Permesta di pindahkan di Manado. Kata nenek saya, Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Diantaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville, dan Konferensi Meja Bundar yang isinya mengenai prosedur prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.
Gerakan Permesta yang dipimpin oleh Letkol. Ventje Sumual ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh di Indonesia Timur. Keadaan saat itu cukup kacau, karena hampir setiap hari ada gencatan senjata dimana-mana. Nenek saya bercerita, waktu itu sering sekali mereka sedang belajar, tiba-tiba ada suara tembakan senjata, sehingga mereka harus bersembunyi di bawah tanah. Gencatan senjata ini terjadi kurang lebih 3 kali dalam seminggu. Setiap rumah penduduk saat itu mempunyai ruang bawah tanah untuk tempat persembunyian. Ruang bawah tanah keluarga nenek saya waktu itu cukup luas, cukup muat 15 orang. Di dalamnya terdapat makanan dan selimut. Diatasnya ditutupi oleh semak-semak agar tidak mudah ditemukan oleh tentara. Gencatan senjata antara Permesta dengan APRI saat itu juga menyebabkan adik dari nenek saya yang tewas terbenuh dalam gencatan senjata tersebut. Adik dari nenek saya, William Mawikere tewas ditembak oleh tentara APRI karena beliau terlibat dalam pemberontakan Permesta tersebut.
Gerakan Pemberontakan Permesta saat itu di juga dibantu oleh Allan Pope, yang merupakan seorang penerbang bayaran asal Amerika Serikat. "Kekuatan Permesta saat itu melemah saat terjadi penembakan terhadap Allan Pope dan Harry Rantung", ujar nenek saya. Setelah penembakan terhadap Allan Pope dan Harry Rantung itu Apri dengan mudah menguasai setiap Wilayah yang semula diduduki Permesta. Permesta pun semakin melemah saat Amerika Serikat menghentikan segala bantuannya kepada Permesta, akibat terbongkarnya rahasia bahwa AS ikut terlibat dengan Pemberontakan Permesta ini.
Nenek menceritakan bahwa pemberontakan ini berakhir kira-kira tahun 1960, yaitu saat pihak Permesta Menyatakan kesediaanya untuk berunding dengan Pemerintah Pusat. Dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu: bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa. Setelah selesainya perundingan tersebut, banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan termasuk Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang keluar dari hutan hutan. Dengan demikian Permesta pun dinyatakan bubar.