NAMA : CINTYA HAPSARI AYUNINGTYAS
KELAS : XI IPA I
Pada hari Jumat 20 Mei 2011, saya bersama 7 teman saya bersama – sama mendatangi Museum Gajah seusai shalat Jumat. Kami berdelapan berniat mengunjungi Museum tersebut untuk mengerjakan tugas sejarah untuk dipost pada blog ini. Tugas sejarah tersebut adalah untuk menjelaskan salah satu koleksi yang terdapat pada salah satu Museum yang kami kunjungi. Karena Museum Nasional Jakarta atau Museum Gajah mempunyai koleksi yang banyak dan beragam, merupakan salah satu alasan saya memilih utnuk mengunjungi Museum Gajah untuk melakukan tugas sejarah saya. Memasuki museum kami membayar Rp 2.000 saja, bagian depan Museum Gajah tidak berubah, tetap dengan disambutnya oleh arca – arca besar. Saat saya disana, saya berniat untuk mendatangi bagian dari Museum Gajah yang sudah direnovasi, bagian dari gedung baru Museum Gajah, disana interior dari Museum Gajah sudah terihat sangat modern. Dari berbagai macam bagian Museum Gajah, saya memutuskan untuk mengunjungi bagian peninggalan nusantara yang terletak pada lantai 2, dan disitulah saya memutuskan untuk menjelaskan tentang prasasti Kanjuruhan.
MUSEUM GAJAH
Museum Gajah atau Museum Nasional Republik Indonesia adalah salah satu wujud pengaruh Eropa, terutama semangat Abad Pencerahan, yang muncul pada sekitar abad 18. Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh Pemerintah Belanda di bawah Gubernur-Jendral JCM Radermacher sebagai respons adanya perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah diHindia Belanda. Museum ini diresmikan pada tahun 1868, tapi secara institusi cikal bakal Museum ini lahir tahun 1778, tepatnya tanggal 24 April, pada saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh pemerintah Belanda. Radermacher menyumbang sebuah gedung yang bertempat di Jalan Kalibesar beserta dengan koleksi buku dan benda-benda budaya sehingga menjadi dasar untuk pendirian museum.
Di masa pemerintahan Inggris di bawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816), yang juga berlaku sebagai Direktur dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen memerintahkan pembangunan gedung baru yang terletak di Jalan Majapahit No.3. Gedung ini digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dahulu bernama "Societeit de Harmonie".) Gedung ini sekarang berada di kompleks Sekretariat Negara.
Di tahun 1862, setelah koleksi memenuhi museum di Jalan Majapahit, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan gedung baru yang berlokasi di Jalan Merdeka Barat No.12. Gedung ini dibuka untuk umum pada tahun 1868.
Museum Nasional dikenal sebagai Museum Gajah sejak dihadiahkannya patung gajah perunggu oleh Raja Chulalongkorn dari Thailandpada 1871. Tetapi pada 28 Mei 1979, namanya resmi menjadi Museum Nasional Republik Indonesia. Kemudian pada 17 September1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia yang mengelolanya, menyerahkan Museum kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu pengelolaan museum resmi oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah pengelolaan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Catatan di website Museum Nasional Republik Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa koleksinya telah mencapai 109.342 buah. Jumlah koleksi itulah yang membuat museum ini dikenal sebagai yang terlengkap di Indonesia. Pada tahun 2006 jumlah koleksinya sudah melebihi 140.000 buah, tapi baru sepertiganya saja yang dapat diperlihatkan kepada khalayak.
Museum ini terletak di Jalan Merdeka Barat.
Museum Gajah banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno,prasasti, benda-benda kuna lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.
PRASASTI KANJURUHAN (DINOYO)
Informasi adanya suatu kerajaan di Malang yang bernama Kanjuruhan diperoleh dari Prasasti Dinoyo. Prasasti ini memuat penanggalan dalam candara sengkala yang berbunyi: nayana-vayu-raseyang bernilai 682 Caka atau 760 Masehi. Prasasti ini ditemukan terpisah, bagian atas ditemukan di daerah Dinoyo dan bagian bawah di daerah Merjosari. Prasasti ini ditemukan oleh Laydie Melville pada tahun 1904. Kemudian berhasil diterjemahkan oleh Poerbatjaraka pada tahun 1976.
Penamaannya sebagai “Prasasti Dinoyo” itu adalah salah, yang disebabkan karena yang pertama kali diketemukan adalah sebagian dari tiga pecahan prasasti ini di daerah Dinoyo. Padahal dua pecahan lainnya ditemukan di Merjosari. Kedua, jika benar pendapat Casparis (1946) bahwa prasasti ini asalnya dari Desa Kejuron – perubahan dari toponimi “Kanjuruhan”, maka semestinya dinamai “Prasasti Kejuron” atau “Prasasti Kanjuruhan”. Ketiga, prasasti ini dikeluarkan oleh raja dari kerajaan Kanjuruhan.
Prasasti Dinoyo dapat dibilang unik karena ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno (Kawi) dan berbahasa Sanksekerta. Kerajaan Kanjuruhan, jika merujuk kepada tahun yang terdapat pada prasasti Dinoyo (760 M), berarti sejaman dengan Mataram Kuno pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran yang naik tahta pada tahun 760 menggantikan Sanjaya.
Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
- Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
- Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
- Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
- Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
- Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
- Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
- Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
- Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
- Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
Adapun transkrip dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
Selama tahun caka berjalan 682
Ada seorang raja bijasana dan sangat sakti, sang Dewasimha namanya. Ia menjaga keratonnya yang berkilau-kilauan disucikan api Putikecwara (yakni sang Ciwa).
Anakda yalah seorang liswa namanya, yang juga terkenal dengan nama Sang Gajayana, setelah ramanda pulang kembali ke swarga, maka sang Liswa-lah yang menjaga keratonnya yang besar, bernama Kanjuruhan.
Sang Liswa melahirkan seorang putrid yang oleh ramanda sang raja diberi nama sang Uttejana, seorang putrid kerajaan yang hendak meneruskan kulawarga ramanda yang bijaksana itu.
Sang raja Gajayana, yang memberi ketentraman kepada sekalian para Brahmana dan dicintai oleh rakyatnya, yalah bakti kepada yang mulia sang Agastya. Dengan sekalian pembesar negeri dan penduduknya ia membuat tempat (candi) sangat bagus bagi sang maharesi (Agastya) untuk membinasakan penyakit yang menghilangkan kekuatan (semangat).
Setelah ia melihat arca Agastya yang dibuat dari kayu cendana oleh nenek moyangda, maka raja murah hati dan pencipta kemasyuran ini memerintah kepada pelukis yang pandai untuk membuat (arca Agastya) dari batu hitam yang elok, supaya ia selalu dapat melihatnya.
Atas perintah sang raja yang sangat teguh budinya ini, maka (arca) sang Agastya yang juga bernama Kubhayoni didirikan (dengan upacara dan selamatan besar) oleh para ahli regweda, para ahli weda lain-lainnya, para brahmana besar, para pandita yang terkemulia dan para penduduk negeri yang ahli kepandaian lain-lainnya, pada tahun 682 Caka, bulan Margacirsa, hari Jumat tanggal 1 paro petang?
Dihadiahkan pula oleh sang raja sebagian tanah dengan sapi yang gemuk-gemuk serta sejumlah kerbau, dengan beberapa orang budak lelaki dan perempuan dan segala keperluan hidup para pandita yang terkemuka, seperti sabun pemandian, bahan untuk selamatan dan sajen-sajen; juga sebuah rumah besar yang sangat penuh (perabotan) untuk penginapan para brahmana tetamu dengan disediakan pakaian, tempat tidur, pada jawawut dan lain-lain.
Manakala ada kulawarga (kerajaan) atau anak-raja dan sekalian para pembesar negeri bermaksud melanggar atau berbuat jahat, berdosa tidak mengindahkan (peraturan) hadiah sang raja ini, moga-moga mereka jatuh ke dalam neraka; janganlah mereka mendapat nasib yang mulia, baik dalam akhirat maupun dunia.
(Sebaliknya) mana kala kulawarga sang raja, yang girang akan terkembangnya hadiah itu, mengindahkannya dengan pikiran yang suci, melakukan penghormatan kepada brahmana dan berbuat ibadah, maka karena berkat selamatan kebaikan dan kemurahan itu haraplah mereka menjaga kerajaan yang tak bandingkan ini seperti sang raja menjaganya.
Informasi dari prasasti di atas menyebutkan nama Kerajaan Kanjuruhan dengan rajanya bernama Dewasimha yang mempunyai putra yang nantinya menggamntikan dirinya menjadi raja bernama Liswa bergelar Gajayana. Kemudian Gajayana mempunyai putri bernama Uttejana.
Selain silsilah keluarga raja di atas, prasasti Dinoyo juga memberikan informasi tentang pembangunan bangunan suci yang diperuntukkan kepada Resi Agstya. Inilah keunikan dari Kerajaan Kanjuruhan. Tidak seperti kerajaan Hindhu lainnya di Indonesia yang pada umumnya membuat bangunan suci (candi) untuk dewa Siwa, Wisnu, ataupun Brahma. Berdasarkan prasasti Dinoyo raja Gajayana menyembah Agastya dan menghormati Agstya sehingga mengubah arca Agastya dari kayu cendana menjadi batu hitam yang mengkilat. Kemudian Gajayana memerintahakan untuk membangun sebuah bangunan suci untuk Resi Agastya.
Menurut Poerbatjaraka dalam disertasinya (1926) di India, Asia Tenggara ataupun di Nusantara, Agastya diposisikan secara istimewa. Oleh karena, secara mitologis Agastya digambarkan sebagai “culture hero” yang berperan dalam mengembangkan Siwaisme dari India barat laut ke selatan, yang untuk itu Agastya harus meminum air samodra hingga habis. Mitos tentang perluasan Hinduisme ke arah selatan dengan menyeberangi laut ini, menurut Poerbatjaraka dapat dijadikan petunjuk mengenai perluasan lebih lanjut agama Hindu (Brahmanisme) ke Nusantara. Dalam hal ini, Agastya telah menemukan jalan laut ke Nusantara. Sesungguhnya Agastya adalah salah seorang resi yang menjadi murid (sisya) dari Siwa. Diantara para murid Siwa, bahkan di antara tujuh resi utama (saptarsi) murid Siwa, Agastya adalah yang paling utama. Oleh karena keutamaannya ini, maka maharsi Agastya sering dikonsepsikan “wakil” Siwa di dunia. Bahkan, Agastya diidentikkan dengan Siwa, utamanya Siwa sebagai Mahaguru.
Bangunan suci atau candi untuk Agastya ini belum diketahui secara pasti. Beberapa sarjana menyamakan bangunan ini dengan Candi Badut yang in situ di desa Badut. Tapi ada suatu keanehan pada candi ini. Di dalam grba grha terdapat lingga dan yoni yang merupakan simbol Dewa Siwa. Lagi pula ciri candi seperti ini merupakan ciri candi kerajaan Hindhu yang merupakan pendharmaan seorang raja. Dan juga arca Agastya ini diletakkan di relung utara candi yang sekarang arcanya sudah tidak in situ. Sebenarnya ada kemungkinan bangunan untuk Agastya ini berada di situs Karang Besuki yang letaknya tidak jauh dari Candi Badut. Situs ini berupa reuntuhan candi. Tapi sayang sekali tidak ada petunjuk untuk menjawab dimana bangunan untuk Agastya.
Riwayat Kerajaan Kanjuruhan ini mengalami pemutusan. Dalam sumber tertulis seperti prasasti Dinoyo tidak menyebutkan keberlanjutan Kerajaan Kanjuruhan pada masa Uttejana, putri dari Gajayana. Baru ada informasi tentang Kanjuruhan yaitu pada prasasti Watukura Dyah Balitung. Mungkin kemudian kerajaan Kanjuruhan yang beribukota di Malangditaklukkan oleh Mataram di Jawa Tengah dan penguasanya di anggap sebagai raja bawahan dengan gelar Rakryan Kanuruhan. Gelar ini mulai muncul di dalam prasasti Watukura Dyah Balitung dan kedudukannya sangat penting pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga dan jaman Kadiri.
0 comments:
Post a Comment