Nama: HANA KAMILIA
Narasumber: Tetangga (nama disamarkan suami-istri)
Topik: Krisis Moneter
Selasa, 24 Mei 2011
Pada hari selasa malam tanggal 24 mei 2011 saya mengunjungi rumah salah satu tetangga saya untuk saya wawancara mengenai Krisis Moneter pada tahun 1998. Saat itu saya hanya membawa laptop dan handphone saya, tidak membawa apa apa untuk diberikan kepada narasumber. Dan saat saya sedang mewawancarai narasumber, anak dari narasumber menyuguhkan segelas teh dingin dan roti. Agak menyesal saya tidak membawa apa apa sebagai buah tangan pada saat itu. Namun, karena saya memang terbilang sangat dekat dengan mereka, saya menghiraukan perasaan itu. Sesuai dengan syarat yang diberikan oleh narasumber, saya tidak diperkenankan untuk mempublikasikan identitas narasumber.
Pada hari selasa malam tanggal 24 mei 2011 saya mengunjungi rumah salah satu tetangga saya untuk saya wawancara mengenai Krisis Moneter pada tahun 1998. Saat itu saya hanya membawa laptop dan handphone saya, tidak membawa apa apa untuk diberikan kepada narasumber. Dan saat saya sedang mewawancarai narasumber, anak dari narasumber menyuguhkan segelas teh dingin dan roti. Agak menyesal saya tidak membawa apa apa sebagai buah tangan pada saat itu. Namun, karena saya memang terbilang sangat dekat dengan mereka, saya menghiraukan perasaan itu. Sesuai dengan syarat yang diberikan oleh narasumber, saya tidak diperkenankan untuk mempublikasikan identitas narasumber.
KRISIS MONETER
“Krisis yang melanda Indonesia pada 1997/1998, sebenarnya merupakan imbas dari apa yang terjadi di Thailand. Pada 14 Mei dan 15 Mei 1997, mata uang Thailand, Baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Perdana Menteri Thailand waktu itu, Chavalit Yonchaiyudin, menyatakan, tidak akan akan mendevaluasi baht. Nilai mata uang baht diambangkan terhadap dolar. Akibatnya, baht, yang sejak 1985 dipatok pada 25 baht terhadap satu dolar AS, jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Nilai tukar baht menjadi 56 baht per satu dolar AS, pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan terbesar di Thailand, bangkrut. Pada 20 Agustus 1997, International Monetery Fund (IMF) menyetujui memberikan paket dana talangan sebesar 3,9 milyar dolar.
Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Neraca perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar lebih dari 20 milyar dolar, sektor perbankan berjalan baik. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.
Namun, ketika krisis melanda Thailand, sehingga nilai baht terhadap dolar anjlok, maka nilai dolar pun menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Nilai rupiah anjlok terhadap dolar. Kepanikan semakin menjadi-jadi, ketika perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu/membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, malah semakin menambah beban utang yangharus ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Inflasi dalam negeri Indonesia meningkat tajam. Harga sembako, maupun barang-barang lain melonjak berlipat kali. Krisis yang melanda Indonesia ini memuncak ketika pada Mei 1998, Presiden Suharto dipaksa mundur, setelah sebelumnya terjadi berbagai kerusuhan.
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat sejak pemerintahan George Bush, memuncak ketika bank-bank di AS harus menerima kenyataan terjadinya kredit macet dalam bidang perumahan sekitar lima trilyun dolar, yang menguncang perekonomian AS. Bursa saham Di AS dan negara-negara maju lainnya, terguncang, mengalami penurunan yang drastis. Indonesia pun terkena imbasnya. Bursa saham di Indonesia juga mengalami guncangan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar pun gonjang-ganjing. Kekhawatiran orang awam (masyarakat umumnya), krisis ini akan menyebabkan terulangnya krisis pada 1997/1998. Kenaikan harga sembako dan barang-barang lainnya, seakan sudah di depan mata.” http://www.gemadepok.com/index.php?mod=article&cat=Natl&article=70”
WAWANCARA
Pada saat krisis moneter, seperti pada artikel diatas, tetangga saya sebagai narasumber sangat merasakan dampak dari krisis moneter. Karena lonjakan harga yang melambung tinggi, mereka sampai menjual harta bendanya seperti; mobil, tas golf dan perangkatnya, kamera, jam tangan, dan barang barang berharga lainnya karena tidak mempunyain uang yang cukup untuk hidup di keadaan krisis moneter itu. Pada saat itu tetangga saya sedang melanjutkan pendidikan S2 di ITB. Karena harga harga barang naik, tetangga saya sampai harus menghemat pembelian makanan.
“Saking susahnya hidup saya saat itu saya sampai makan tempe melulu, gak pernah makan daging! Boro boro makan daging… Pokoknya patut dikasih zakat deh, tapi gak ada yang ngasih tuh! Hehehe…” ceritanya sambil bercanda.
Pada saat itu, sebagian besar masyarakat termasuk tetangga saya dan rekan rekannya langsung pulang setelah berkerja agar tidak terkena dampak kerusuhan yang sering terjadi pada saat itu. Karena ternyata ada saat dimana satu minggu penuh terjadi kerusuhan yang parah seperti maraknya membakar tempat tempat umum.
Namun, pasti ada dampak positif dari kejadian ini. Saya cukup penasaran dampak positif dari krisis moneter, karena menurut pandangan saya sendiri sepertinya itu buruk bagi Indonesia. Dampak positif dari krisis moneter menurut narasumber ternyata, ia jadi lebih telaten mengurus rumah tangga, karena ia dirumah saja. Ia jadi lebih mengurus anaknya yang kebetulan saat itu masih terbilang balita. Tetangga saya ini tidak berani keluar rumah karena maraknya kerusuhan yang terjadi, sehingga ia berdiam diri dirumah saja.
Menurut narasumber, ternyata akibat krisis moneter itu, banyak orang yang bercerai, seperti teman dari tetangga saya. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena di PHK, dari yang berkecukupan hingga tidak memiliki apa apa lagi, sehingga sang istri tidak tahan dengan kemiskinan suami. Rata rata orang yang ter PHK adalah orang yang bekerja di Bank. Karena bank yang paling terkena dampaknya karena sumber uang secara keseluruah ada pada Bank.
Tetangga saya khawatir dengan negara Indonesia, apalagi dengan terjadinya banyak kerusuhan seperti membakar tempat tempat; supermarket, swalayan, narasumber khawatir dengan pasokan makanan yang ada.
Akhir kata, ia menutup dengan guyonan guyonannya yang lucu. Tetangga saya ini memang lucu walau terkadang jayus, namun beliau memiliki pemikiran yang baik dan bisa diajak kerjasama, seperti contohnya dengan senang hati bersedia diwawancara untuk tugas sejarah saya ini.
0 comments:
Post a Comment