NAMA: RIZKI RAHMALINA PUTRI
KELAS: XI IPA I
Saya melakukan perjalanan ke Museum Nasional Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan nama Museum Gajah karena konon di halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada tahun 1871. Kadang kala disebut juga "Gedung Arca" karena di dalam gedung memang banyak tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai periode. Bersama dengan beberapa teman sekelas, seusai sepulang sekolah kami beramai-rami pergi mengunjungi Museum Nasional pada hari Jumat tangal 20 Mei 2011. Saya menentukan berkunjung ke Museum ini karena museum ini cukup populer di daerah Jakarta dan dekat dengan pusat kota. Kunjungan ini adalah kunjungan keempat kalinya saya ke Museum Nasional. Dengan harga tiket masuk museum yang hanya Rp 2.000,00 kita dapat berkeliling sepuasnya tanpa batasan waktu. Sewaktu saya pertama kali mengunjungi Museum Nasional, harga tiket masuk hanyalah RP 500,00 Tiket dibeli di loket yang menyatu dengan lobi museum. Harga tiket yang hanya seperempat atau sepertiga harga tiket bioskop ternyata tidak bisa dibandingkan dengan ilmu yang diperoleh di museum ini. Pengunjung akan mendapatkan hal yang lebih dahsyat daripada menonton film di bioskop.
Koleksi di Museum Nasional sudah melebihi 140.000 buah, tapi baru sepertiganya saja yang dapat diperlihatkan kepada khalayak. Museum Nasional banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno, prasasti, benda-benda kuna lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga. Sumber koleksi banyak berasal dari penggalian arkeologis, hibah kolektor sejak masa Hindia Belanda dan pembelian. Koleksi keramik dan koleksi etnografi Indonesia di museum ini terbanyak dan terlengkap di dunia. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara dan bernaung di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
.
Pertama-tama saya mengunjungi museum gedung lama (Unit A) berdasarkan pada jenis-jenis koleksi, baik berdasarkan keilmuan, bahan, maupun kedaerahan. Seperti Ruang pameran Prasejarah, Ruang Perunggu, Ruang Tekstil, Ruang Etnografi daerah Sumatra, dan lain-lain. Sebagai museum utama di ibukota, museum ini memang gak jauh beda keadaannya dengan banyak museum di ibukota, kurang perawatan. Banyak patung yang kurang terawat dan disusun bergeletakan dibawah, Di beberapa bagian gedung kesan mistis sangat terasa,apalagi waktu saya mengunjungi gedung lama sedang terjadi mati lampu dan pengunjungnya yang cuma sedikit bisa dihitung dengan jari. Koleksi Arkeologi meliputi benda-benda budaya hasil kegiatan manusia dari masa Hindu Buddha dan lebih dikenal dengan sebutan masa Klasik Indonesia. Masa ini berlangsung dari awal abad ke-5-15 Masehi, dimana berkembang kebudayaan lokal yang dipengaruhi oleh kebudayaan India.
Pertama-tama saya mengunjungi museum gedung lama (Unit A) berdasarkan pada jenis-jenis koleksi, baik berdasarkan keilmuan, bahan, maupun kedaerahan. Seperti Ruang pameran Prasejarah, Ruang Perunggu, Ruang Tekstil, Ruang Etnografi daerah Sumatra, dan lain-lain. Sebagai museum utama di ibukota, museum ini memang gak jauh beda keadaannya dengan banyak museum di ibukota, kurang perawatan. Banyak patung yang kurang terawat dan disusun bergeletakan dibawah, Di beberapa bagian gedung kesan mistis sangat terasa,apalagi waktu saya mengunjungi gedung lama sedang terjadi mati lampu dan pengunjungnya yang cuma sedikit bisa dihitung dengan jari. Koleksi Arkeologi meliputi benda-benda budaya hasil kegiatan manusia dari masa Hindu Buddha dan lebih dikenal dengan sebutan masa Klasik Indonesia. Masa ini berlangsung dari awal abad ke-5-15 Masehi, dimana berkembang kebudayaan lokal yang dipengaruhi oleh kebudayaan India.
Koleksi Arkeologi pada gedung lama terdiri dari arca dewa-dewa Hindu, arca Buddha, arca perwujudan, arca binatang, perhiasan, peralatan upacara, bagian bangunan, mata uang, prasasti, dan lain-lain. Koleksi-koleksi tersebut terbuat dari emas, perak, perunggu, batu, dan tanah liat yang dibakar.
Sebagian koleksi Arca Buddha
Koleksi Arkeologi sebagian besar berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya temuan emas yang sangat bernilai dari desa Wonoboyo, Jawa Tengah; arca batu Prajñaparamita dari Singosari, Jawa Timur. Selain itu juga memiliki koleksi-koleksi penting lainnya, seperti prasasti tertua di Indonesia, yaitu prasasti Yupa dari Muara Kaman, Kutai Kalimantan Timur; prasasti-prasasti dari kerajaan Tarumanegara; dan prasasti-prasasti yang berasal dari masa kerajaan Sriwijaya. Arca Bhairawa Buddha dari Padang Roco, Sumatera Barat juga merupakan koleksi Arkeologi yang cukup menarik perhatian dilihat dari ukurannya yang sangat besar.
Akhirnya seluruh ruangan di Gedung Lama Museum Nasional berhasil saya jelajahi. Saya pun melanjutkan perjalanan ke Gedung Baru Museum Nasional. Ini pertama kalinya saya ke gedung baru, kerena waktu terakhir saya kesini bangunan ini belum jadi seutuhnya. penataan pameran di gedung baru (Unit B) tidak lagi berdasarkan jenis koleksi melainkan mengarah kepada tema berdasarkan aspek-aspek kebudayaan yang mana manusia diposisikan sebagai pelaku dalam lingkungan tempat tinggalnya. Tema pameran yang berjudul “Keanekaragaman Budaya dalam Kesatuan” ini terdiri dari beberapa subtema antara lain Manusia dan Lingkungan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Ekonomi, Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman, dan Khasanah dan Keramik.
Pada gedung baru ini suasananya sungguh berbeda dengan gedung lama. Tampak lebih modern, bersih, ber-ac dan semua koleksi-koleksi tertata dengan rapih. Salah satu koleksi yang menarik perhatian saya adalah Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea. Sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara berupa batu alam yang sangat besar. Prasasti ini ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor merupakan peninggalan kerajaan Tarumanagara. Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit yang diapit oleh tiga sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Ciampéa (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang).
Foto asli Prasasti Ciarunteun
Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (bawahan) yang dinamai "Pasir Muhara"
Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (bawahan) yang dinamai "Pasir Muhara"
Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Museum Nasiona pada tahun 1863. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula. Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir.
Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari tiga baris dan pada bagian bawah tulisan terdapat pahatan gambar umbi dan sulur-suluran (pilin), sepasang telapak kaki dan laba-laba. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara
Selain itu, ada pula gambar sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.
Batu besar dengan berat delapan ton itu nampak kokoh sekali bernaung dibawah cungkup. Sepasang "pandatala" (tapak kaki) nampak tercetak jelas pada bagian atasnya dihiasi dengan sederet prasati berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Konon tapak kaki tersebut adalah bekas tapak kaki Maharaja Purnawarman yang memimpin dan menguasai kerajaan Tarumanegara.
Saya dan replika Prasasti Ciarunteun
Dari keterangan Prasasti Ciaruteun tersebut, telah didapat sebuah keterangan yang menjelaskan tentang keberadaan Purnawarman sebagai seorang raja Tarumanagara, yang menganut agama Hindu aliran waisnawa. Akan tetapi keberadaan prasasti Ciaruten tersebut kita masih belum bisa menemukan keberadaan keraton Kerajaan Tarumanagara dibawah kepeminpinan Raja Purnawarman.
Selain tulisan, dalam prasasti Ciaruteun terdapat juga lukisan yang berbentuk ikal dan sepasang tanda mirip gambar laba-laba atau matahari. Lukisan telapak kaki dianggap sebagai lambang langkah raja Purnawarman ke surga yang dipersamakan dengan perjalanan matahari, dari mulai terbit, kemudian mencapai titik tertinggi, terbenam, sampai akhirnya terbit kembali.
Penafsiran lain tentang keberadaan gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun dapat diartikan sebagai:
1. Sepasang "pandatala" melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
2. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
Selain tulisan, dalam prasasti Ciaruteun terdapat juga lukisan yang berbentuk ikal dan sepasang tanda mirip gambar laba-laba atau matahari. Lukisan telapak kaki dianggap sebagai lambang langkah raja Purnawarman ke surga yang dipersamakan dengan perjalanan matahari, dari mulai terbit, kemudian mencapai titik tertinggi, terbenam, sampai akhirnya terbit kembali.
Penafsiran lain tentang keberadaan gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun dapat diartikan sebagai:
1. Sepasang "pandatala" melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
2. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
Oleh-oleh dari kunjungan ke museum ini adalah rasa senang akan tambahan ilmu yang saya dapatkan. Sangat pantas apabila kita mengajak orang terdekat kita untuk mengunjungi museum guna menambah wawasan, melihat peninggalan sejarah di Indonesia, dan memotivasi kita untuk menciptakan hal yang tercatat dalam sejarah.
0 comments:
Post a Comment