Museum Polri |
Pada hari sabtu, saya bersama teman-teman pergi ke museum Polri untuk menuntaskan tugas dari mata pelajaran sejarah. Mengapa museum POLRI ? Satu, karena saya belum pernah ke sana. Dua, karena dekat dari sekolah. Tiga, karena menurut saya sejarah Polri mungkin belum begitu terekspos karena Polri dan TNI baru berpisah pada saat reformasi, sehingga Polri belum terlihat keistimewaan sejarahnya.
Saya dan teman-teman berangkat dari sekolah, pukul 10.00 siang. Karena hari libur, macet pun menjadi hal biasa pada saat perjalan. Akhirnya, kami tiba di museum pada pukul 10.30 siang. Saat kami sampaio, kami disambut dengan Patung berukuran sekitar 5 meter yang berdiri gagah di depan halaman Museum Polri. Di sampingnya terdapat replica Helikopter juga. Suasana museum pada waktu itu terbilang tidak ramai, bahkan bisa dibilang sepi pengunjung.
Patung Depan Museum Polri |
Walaupun sepi pengunjung, salah satu staff dari Museum Polri menerima kami dengan ramah dan menjelaskan tata karma dan petunjuk saat di museum. Oh ya, tidak ada tiket masuk saat kita memasuki museum, semuanya gratis. Setelah mengisi buku tamu, kami pun memulai pencarian objek yang menurut kam patut diliput. Setelah keliling tiga lantai, sayapun menemukan salah satu objek yang menurut saya menarik, yaitu sepeda ontel yang digunakan para polisi pada saat zaman dulu waktu berpatroli.
Sepeda Patroli |
Mungkin, tidak ada yang istimewa dari sepeda ini. Sepeda ini digunakan polisi pada tahun 60an untuk berpatroli di sekitar kota. Sepeda patrol umum digunakan pada tahun 60an dikarenakan selain murah, sepeda patrol juga tidak menghasilkan suara yang berisik. Cocok untuk patroli malam di sekitar rumah-rumah.
Mungkin anda meremehkan apa manfaat dari sepeda patroli , namun satu persitiwa sejarah mengubah semua pandangan tentang sepeda patrol . Seorang polisi patrol bernama Sukitman, tidak sengaja telah menjadi saksi mata salah satu peristiwa paling berpengaruh dalam sejarah neagara Indonesia, yaitu Gerakan 30 September PKI atau bisa disingkat G30S/PKI bersama sepeda patrolinya. Simaklah kesaksian beliau saat menjadi satu-satunya saksi mata yang hidup dan menjadi tawanaan yang berhasil kabur saat G30S/PKI tersebut.
Letkol (Purn) Pol. Sukitman |
Dari bus, saya kemudian diturunkan di sebuah tempat. Dan ketika tutupan mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat di sekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan (sukwan) dan sukarelawati (sukwati) Pemuda Rakyat dan Gerwani. Saya kemudian dibawa ke dalam tenda. Di sini saya mendengar kata-kata. Yani wis dipateni (Yani telah dibunuh). Saya juga melihat ada orang yang telentang berlumuran darah, dan ada yang duduk sambil diikat tangan dan ditutup matanya. Kemudian saya ditawan di sebuah rumah, bentuknya seperti sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu persatu tawanan itu diseret dan kemudian diceburkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki. Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para sukwan dan sukwati dengan bersorak-sorak meneriakkan yel-yel Ganyang Kapbir (kapitalis birokrat) dan Ganyang nekolim.
Saat penyiksaan, saya benar-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah kepada Tuhan. Saya sendiri tidak tahu, kalau yang disiksa itu para pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para kapbir seperti yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak pohon karetnya itu Lubang Buaya.
Di sini, saya juga melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat tengah diseret-seret dengan todongan senjata. Matanya ditutup. Kemudian orang itu, didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseret dan diceburkan ke sumur, untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian, orang itu adalah Jenderal S. Parman. Setelah semua korban dimasukkan ke sumur, kira-kira pukul 08.00 pagi, para sukwan dan Sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil Lettu Dul Arif dan Letnan Siman, keduanya dari Cakrabirawa yang menjadi komandan penculikan para jenderal. Lettu Dul Arif mengembalikan senjata saya, carabine jungle yang sudah patah kayunya.
Pada sore hari, saya dibawa Lettu Dul Arif ke sebuah lapangan di Halim Perdanakusuma, dekat Penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir Lettu Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat markas provost AURI. Kemudian kembali iagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Di sini saya tertidur sampai pagi.
Pada 2 Oktober 1965, saya melihat satuan-satuan Cakrabirawa telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan seragam coklat, kini loreng-loreng. Pada sore hari, saya berada sendirian, karena lelah saya berteduh di bawah kolong bus dan kemudian tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar suara-suara tembakan. Mendengar tembakan, pasukan yang dipimpin oleh Dul Arif lari kocar-kacir menggunakan truk-truk dan saya ditinggalkan sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat dari Allah swt. Bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur, dan ikut bersama dengan pasukan pemberontak. Atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.
Keterangan Artefak |
Tampak Depan |
Saya dan Sepeda Patroli |
0 comments:
Post a Comment