otakatikawas!

otakatikawas!

Tugas 3---Saya dan Prasasti Kota Kapur

|
OLEH: KARINA MICHELLE


PERJALANAN KE MUSEUM NASIONAL
Pada hari Jumat, 20 Mei 2011 saya dan teman-teman saya, Cintya, Raras, Hana, Adis Adira, Della, Kiki, Kayrana, Akla, dan Eka pergi berkunjung ke Museum Gajah atau yang lebih dikenal dengan Museum Nasional. Museum ini terletak di Jakarta Pusat, tepatnya di Jl. Merdeka Barat 12. Kami berangkat disana dengan maksud untuk melaksanakan tugas sejarah yang ketiga. Kami berangkat sekitar pukul setengah 2, setelah solat jumat. Selain lokasinya cukup jauh dari sekolah kami, agak macet perjalanan dari Labschool Kebayoran ke Museum Nasional memakan waktu kurang lebih 1 jam. Sesampainya disana, kami membayar tiket masuk sebesar Rp. 2.000,- dan memulai pencarian tugas kami.

MUSEUM NASIONAL

Museum Nasional terletak di Jl. Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat. Sebelum gedung Perpustakaan Nasional RI yang terletak di Jalan Salemba 27, Jakarta Pusat didirikan, koleksi Museum Gajah termasuk naskah-naskah manuskrip kuno. Naskah-naskah tersebut dan koleksi perpustakaan Museum Gajah kini disimpan di Perpustakaan Nasional. Museum Nasional Republik Indonesia adalah salah satu wujud pengaruh Eropa, terutama semangat Abad Pencerahan, yang muncul pada sekitar abad 18. Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh Pemerintah Belanda di bawah Gubernur-Jendral JCM Radermacher sebagai respons adanya perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Museum ini diresmikan pada tahun 1868, tapi secara institusi cikal bakal Museum ini lahir tahun 1778, tepatnya tanggal 24 April, pada saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh pemerintah Belanda.

Kondisi koleksi dijaga dengan ketat dengan usaha konservasi. Terutama adalah koleksi dari kertas yang butuh penanganan hati-hati. Seringkali bagian koleksi yag rusak diganti dengan bahan tiruan. Meskipun hal ini mengurangi otentisitas, tetapi tetap mempertimbangkan sisi estetika dan bentuk asli karya yang dikonservasi. Sering pula ditemui usaha rekonstruksi untuk mengganti koleksi yang rusak parah. Secara umum, hal ini memperlihatkan sikap umum museum di kebanyakan wilayah Asia yang lebih mengutamakan restorasi daripada menjaga ontentisitasSumber koleksi banyak berasal dari penggalian arkeologis, hibah kolektor sejak masa Hindia Belanda dan pembelian. Koleksi keramik dan koleksi etnografi Indonesia di museum ini terbanyak dan terlengkap di dunia. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara.

Museum Gajah atau Museum Nasional banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno, prasasti, benda-benda kuna lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.

Pertama-tama kami mengunjungi bagian Nusantara yang terdapat pada gedung yang lama. Disitu terdapat koleksi-koleksi benda kuno dari seluruh Nusantara. Koleksi-koleksi tersebut terdiri dari berbagai macam, mulai dari arca-arca, barang-barang kerajinan, tekstil, keramik, relik sejarah, barang berharga dan lain sebagainya dari berbagai tempat. Setelah mengunjungi bagian nusantara, kami mengunjungi gedung yang baru, dimana terdapat koleksi-koleksi kuno yang lebih beragam. Gedung dengan 4 lantai ini memiliki berbagai macam koleksi seperti prasasti, rumah adat, perhiasan, kain, dan lain sebagainya. Saya pun memilih untuk mengambil Prasasti Kota Kapur sebagai bahan tugas sejarah saya.

PRASASTI KOTA KAPUR
Prasasti Kota Kapur adalah temuan arkeologi prasasti Sriwijaya yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka. Prasasti ini terletak di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi  Kepulauan Bangka Belitung. Lebih tepatnya, situs ini terletak di pinggir Sungai  Mendo yang bermuara di selat Bangka. Prasasti ini dinamakan menurut tempat penemuannya yaitu sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini ditemukan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892. Prasasti ini pertama kali dianalisis oleh H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah kerajaan besar di Sumatra pada abad ke-7 Masehi, yaitu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaysia, dan Thailand bagian selatan. 

Keberadaan Prasasti Kota Kapur sangat erat kaitannya dengan perairan Selat Bangka yang sering dilintasi  oleh kapal-kapal nelayan setempat maupun asing. Menurut sejarah, pada tahun 1700-an di perairan yang jaraknya sekitar 21 mil dari Pantai Kota Kapur  (Penagan) tersebut sering terjadi perampokan terhadap kapal-kapal yang melintas  oleh para penyamun dan bajak laut yang bersembunyi di sekitar selat Bangka (Kota  Kapur dan sekitarnya). Kabar mengenai merajalelanya para bajak laut terdengar oleh  Raja Sriwijaya yaitu Sultan Ratu Akhmad Badaruddin. Menyikapi kondisi tersebut,  Raja Sriwijaya mengirimkan pasukan untuk memberantasnya. Utusan Raja Sriwijaya berhasil menaklukkan para perampok dan penyamun tersebut. Kemudian, agar tidak ada lagi gangguan terhadap kapal-kapal yang melintas dan juga membahayakan Kerajaan Sriwijaya, maka dibuatlah sebuah prasasti yang berisi tentang perjanjian para penyamun dengan Raja Sriwijaya. Prasasti inilah yang kemudian  dikenal dengan nama Prasasti Kota Kapur, karena prasasti tersebut dibuat di  Kota Kapur. Prasasti perjanjian tersebut berisi kesetiaan khalayak yang masuk  dalam kekuasaan Sriwijaya termasuk Pulau Bangka dan sekitarnya; dan harus taat  dan patuh kepada segala peraturan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan  oleh Raja Sriwijaya; dan penghapusan segala bentuk perampokan dan pemberontakan  di setiap wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Prasasti ini pernah  tertimbun tanah karena tidak dirawat. Baru pada tahun 1892 prasasti ini  ditemukan JK. Fander Meulend (orang Belanda) yang pada waktu itu menjabat  sebagai Administrator di Sungai Selan. Pahatan pada prasasti ini berjumlah  sepuluh baris dengan menggunakan aksara Pallawa dalam bahasa Sansekerta. Pada  tahun 1978, di areal situs ditemukan alas prasasti oleh penduduk desa Kota  Kapur. Alas prasasti yang memiliki panjang 30 cm, lebar 52 cm, dan berat 7 kg  tersebut sekarang berada di rumah juru pelihara Situs Kota Kapur. Di area ini  sudah dua kali diadakan penelitian oleh Tim Arkeologi Nasional bekerjasama  dengan Tim Arkeologi dari Perancis tahun 1994 dan 1995.
Di area situs ini,  pengunjung dapat menyaksikan sisa reruntuhan candi pada zaman Kerajaan  Sriwijaya, puluhan keramik, benteng tanah setinggi sekitar tiga meter, parit di  bawah benteng yang menyerupai terowongan bekas penggalian para arkeolog yang  mencari struktur bangunan candi dan bekas pondasi prasasti Kota Kapur, gedung mirip pendopo yang menyimpan barang-barang sejarah, dan potongan arca yang masih terawat baik. Di area ini terdapat batu berdiri menyerupai gapura yang tingginya sekitar 75 meter sebagai tanda ditemukannya situs ini oleh JK. Fander  Meulend. Area ini merupakan area  situs sejarah yang banyak mengungkap kisah-kisah lama tentang kejayaan Kerajaan  Sriwijaya, sehingga sangat sesuai bagi pengunjung untuk menapaki jejak sejarah (memorial  journey atau a trip to historical sites) Kerajaan Sriwijaya ketika mengalahkan para  penyamun dan bajak laut.

ISI PRASASTI
Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hiyaŋ, seorang penguasa dari Kadātuan Śrīwijaya. Inilah isi lengkap dari Prasasti Kota Kapur, seperti yang ditranskripsikan dan ditejemahkan oleh Coedes:
Naskah asli:
  1. Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai.
  2. Umentern bhakti ni ulun haraki. unai tunai kita savanakta devata mahardika sannidhana. manraksa yan kadatuan çrivijaya. kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yan parsumpahan.
  3. paravis. kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi lavan drohaka, manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya.
  4. Marppadah tida ya bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku sanyasa datua. dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda datu çriwi-
  5. jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna jahat. makalanit uran. makasuit. makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. tamval.
  6. Sarambat. kasihan. vacikarana.ityevamadi. janan muah ya sidha. pulan ka iya muah yan dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu muah ya mulam yam manu-
  7. ruh marjjahati. yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah ya mulan. saranbhana uran drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava vua-
  8. tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. dngan di yam nigalarku sanyasa dattua. çanti muah kavuatana. dngan gotrasantanana.
  9. Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah vanuana paravis chakravarsatita 608 din pratipada çuklapaksa vulan vaichaka. tatkalana
  10. Yan manman sumpah ini. nipahat di velana yan vala çrivijaya kalivat manapik yan bhumi java tida bhakti ka çrivijaya.
Terjemahan
  1. Keberhasilan ! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)
  2. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !
  3. Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang memberon­tak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;
  4. yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka
  5. dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti meng­ganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,
  6. saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang
  7. supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut
  8. mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya
  9. dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebas­an dari bencana, kelimpahan segala­nya untuk semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah
  10. kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya.
Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak. Prasasti Kota Kapur adalah prasasti Śrīwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit yang baru ditemukan pada 29 November 1920, dan Prasasti Talang Tuo yang ditemukan beberapa hari sebelumnya yaitu pada 17 November 1920.

Prasasti Kota Kapur ini, beserta penemuan-penemuan arkeologi lainnya di daerah tersebut, merupakan peninggalan masa Sriwijaya dan membuka wawasan baru tentang masa-masa Hindu-Budha di masa itu. Prasasti ini juga membuka gambaran tentang corak masyarakat yang hidup pada abad ke-6 dan abad ke-7 dengan latar belakang agama Hindu dan Buddha.

0 comments:

Post a Comment

 

Design modified by mugimunteng | Basic Design by Dzignine in Collaboration with Trucks, SUV, Kidney Stones