otakatikawas!

otakatikawas!

Inilah, si Mugi Bentang!

|


1.1 Lahirnya si Anak “Faatihah”

Cerita aku bermula dari perjuangan berat Ibuku yang telah mengandung jasadku selama 9 bulan lebih. Perjuangan itu diakhiri dengan titik klimaks, yaitu kelahiranku, tepatnya malam hari 19 Januari tahun 1994. Malam itulah aku, Mugi Bentang Faatihah, dilahirkan di muka bumi ini . Di sebuah rumah sakit bernama Rumah Sakit Asih. Tak ingat apa yang terjadi kala itu, namun aku ingat betul kedatangan aku di muka bumi ini disambut bahagia oleh kedua orang tua aku, Ayahanda Agus dan Ibunda Safrita. Walau Ibunda tersenyum belakangan karena masih terlelap akibat biusan operasi cesar. Langsung beberapa saat setelah itu, di malam hari menjelang subuh ayah saja mengumandangkan Adzan di kuping aku, sebagai tanda memenuhi sunnah Rasul Muhammad SAW.



Tak lama selang hari itu, orang tua aku, memberi nama aku. Nama yang akan menjadi simbol aku di masyarakat. Nama yang akan menjadi panggilan aku di lingkup masyarakat. Yap, mereka berdua memutuskan untuk menamai aku, Mugi Bentang Faatihah, atau biasa disebut Mugi. Dari nama itu aku tahu , bahwa nama itu menandakan harapan orang tua aku terhadap aku. Mugi Bentang Faatihah, Yang berarti,” Semoga menjadi bintang yang unggul “. Namaku itu merupakan perpaduan antara Bahasa Sunda dan Bahasa Arab. Lha kok bisa begitu? Yap, bapakku adalah Orang Sunda, berdarah Banten dan Bandung. Begitu juga dengan ibuku, perantau dari Lampung ke Jakarta ketika beliau kuliah. Bukan berdarah Sunda tapi, namun Bengkulu tepatnya. Sehingga bisa saja aku dibilang sebagai ”, Anak blasteran ala lokal “.

Mungkin kala itu memang aku masih polos. Belum bisalah aku berbicara seperti orang yang mengerti baik dan busuknya seluk beluk politik waktu itu. Tak bisalah aku menulis otobiografi aku seperti sekarang ini waktu itu. Jangankan untuk makan, untuk kencing saja orang tua yang turun tangan. Belum lagi rewelnya aku, kadang aku berpikir betapa sabarnya kedua orang tua aku ini. Aku juga berpikir apa yang telah aku lakukan untuk membanggakan orang tua aku. Namun sepertinya itu memang jadi pikiran banyak orang. Mau jadi apa kelak aku nanti, seperti apa yang terpikir sekarang ini, namun belum terpikir saat aku bayi dahulu kala.



Kala itu orangtuaku baru pindah dari kontrakan semulanya ,yang terletak di Kebayoran Baru, ke daerah Pamulang, sebuah kota kecil di Jawa Barat tahun 1994. Di tahun 1994, Pamulang adalah kota yang sepi. Dibelakang rumah aku tahun itu, masih berupa kebun-kebun yang ditanami oleh tanaman bernilai ekonomis oleh warga sekitar. Pada malam hari, dinginnya masih serupa dengan Bogor, sejuk campur dingin. Pepohonan rimbun ditemani oleh suara jangkrik pada malam harinya. Beruntung aku sempat merasakan segarnya udara Pamulang pada tahun 1994. Entah mengapa hidup di lingkungan segar seperti Pamulang ,yang terletak sekitar 40 km dari Jakarta Pusat, membawa aura positif dalam pikiranku. Tak ada kebisingan mobil-mobil, tak ada polusi, tak ada kemacetan begitu keluar rumah. Mungkin tak seperti pengalaman kebanyakan orang lainnya yang tinggal di Jakarta. Tak heran banyak orang yang telah lama tinggal di Pamulang sampai sekarang, merasakan rindunya keasrian Pamulang. Karena Pamulang sudah berubah 180 derajat dari tahun 1994 dan tahun-tahun sebelumnya. Sekarang Pamulang gersang dan panas, dipenuhi oleh kendaraan bermotor baik itu yang beroda empat sampai beroda tiga. Mungkin inilah efek dari perkembangan ekonomi wilayah masa kecil aku, namun tak tertangani dengan baik oleh pemerintah, pemerintah Tangsel tepatnya. Sampai sekarangku tulis saja masih tidak jelas siapa yang menjadi walikotanya setelah pemilihan ulang pilkada Tangsel. Tim Andre Taulany atau Tim Airin, tak ada yang tahu sepertinya sampai sekarang kecuali mereka yang berdansa dalam kotak politik. Usut punya usut terjadi praktek KKN di dalamnya, walah mau jadi apa kota yang baru jadi ini. Mungkin tak jadi, hanya setengah jadi seperti nangka busuk gagal matang. Hal yang menjadi problema pemerintahan kita sepertinya masih mendarah daging dari tahun aku lahir sampai sekarang ini.



Waktu itu rumahku tidak mempunyai tetangga, ada satu tetangga di sepanjang deretan jalan depan rumahku. Namun untuk mencapainya harus melewati sekitar 2 rumah dari samping kanan rumahku. Tak ada banyak pohon di sepanjang jalan rumah-rumah kosong yang diwarnai cat putih. Jalan depan rumah masih berupa aspal sementara, dengan got-got ¬baru yang masih terlihat bekas luluran semennya, belum tercemar pembuangan limbah rumah tangga. Rumput rumah-rumah kosong seperti baru ditanami oleh pekerja dari developer komplek Permata Pamulang. Sekitar 4 rumah dari samping kiriku, terdapat jurang dengan sungai di lembahnya. Sehingga kalau malam, masih terdengar sayup-sayup suara sungai yang bernama kali angke dari rumahku. Suasana gang perumahaan yang dihuni kami sekeluarga waktu itu bagaikan kota mati. Tepatnya mungkin kota mati di pinggiran ibukota negara berkembang, Jakarta. Jangankan tetangga atau penjual gerobakan, kucing kampung saja jarang terlihat melintas depan rumah. Kalau ibu tidak masak? Terpaksa bapak harus menggunakan motor sampai Pamulang kota. Walau ada pedagang kaki lima waktu itu, namun biasanya menjual produk jamu-jamu kesehatan, tak mungkin aku yang berumur 1 tahun kurang mengkonsumsi itu. Di komplek Permata Pamulang kala itu, yang ada adalah rumah-rumah penduduk asli berdarah Betawi di belakang rumahku. Dan sebuah komplek kecil pendahulu Permata Pamulang, terletak sekitar 300 meter dari rumahku, dihuni oleh para pekerja asal Jakarta sampai mereka yang bekerja di tanah Tangerang dan sekitarnya.

Baru sekitar tahun 1995, rumah-rumah di gang rumah keluarga Hermawan (nama keluargaku), mulai ditempati oleh pendatang dari berbagai sudut Jakarta sampai daerah. Tetangga tepat 1 rumah di sebelah kiriku termasuk yang pertama kali menempati rumah-rumah kosong itu. Mereka adalah “keluarga Zulkifri”. Sang Oom bernama Bapak Zulkifri yang bekerja di Departemen Perhubungan, dan sang tante bernama Uci yang bekerja sebagai desainer . Mereka sekeluarga sudah mempunyai 2 anak, kakaknya bernama Karizki dan adiknya bernama Kariza. Mereka semua termasuk tetangga pertama keluarga kami. Lalu mulai datang beberapa tetangga lainnya, entah itu mereka yang berumah tangga dan sudah bekerja juga sudah mempunyai anak ataupun yang belum mempunyai anak dan sudah bekerja. Tak hanya mereka yang sudah berkeluarga yang tinggal di gang rumah kami. Ada juga sekumpulan mahasiswa universitas binaan Pak Habibie, Insitut Teknologi Indonesia , yang tinggal rumah di belakang rumah kami. Mungkin mereka yang tinggal di sini sebagian besar adalah mereka yang merasakan sumpeknya tinggal di Jakarta. Walau tinggal di Pamulang berarti tinggal di daerah yang asing dari perkembangan Jakarta waktu. Ada juga efek baiknya, yaitu ketentraman daerah Pamulang ini membawa tali silaturahmi bagi kita semua. Sampai sekarang ini, wilayah Rukun Tetangga yang aku tinggali ini memiliki hubungan erat antar sesama tetangga, yaaaah idiom dari Inggris”, Don’t judge a book by its cover “ ada benarnya juga.

Kendati demikian sebenarnya aku beruntung lahir di tahun 1994, harga bahan pangan masih stabil. Orangtuaku tidak terlalu memikirkan harga bahan pangan pada waktu itu. Perkerjaan ayahku sebagai wartawan Kompas cukup untuk menafkahi kami sekeluarga. Walau balasannya beliau sering pulang malam, dan kadang lebih baik menginap di kantor, karena Pamulang tahun 1994 adalah sebuah kota yang asing ketika tengah malam. Rawan akan perampokan dan jual diri wanita malam. Tak herang jua, polisi sering berpatroli malam-malam mengitari jalan utama Pamulang. Sebenarnya, dahulu ibuku juga bekerja pada sebuah perusahaan, Avigra namanya. Namun karena kemunculan aku di muka bumi ini, alhasil ibunda rela berkorban dan berhenti kerja , tak dapat dipungkiri bahwa pengorbanan ibundaku sangat besar. Di tahun 1994 itu, abah dan bunda (panggilan aku untuk mereka) masih bisa membeli barang-barang mainan bayi untukku waktu itu. Model-model mainan import Cina atau produksi lokal ala pedagan kaki lima di Turunan dan Tanjakan Puncak. Mungkin beda halnya dengan model-model orangtua tahun 1965, di mana mereka menangis memikirkan cara hanya agar anaknya dapat makan, di mana mereka juga diteror oleh keberadaan PKI dan sekongkolnya. Di mana mereka juga dapat dengan gampang difitnah sebagai anggota PKI saat pemberantasan partai komunis itu dilakukan. Kembali yang terpikirkan dalam benak aku sekarang ini adalah”, Apakah aku sudah bersyukur dan memanfaatkan rizki itu?”.


Mungkin tak banyak cerita yang masih aku ingat ketika aku masih bayi waktu itu. Ditambah lagi, sekitar satu tahunan kurang , baru banyak tetangga yang datang menempati rumah-rumah kosong, dan otomatis aku baru berkenalan dengan anak-anak sepantaran aku dan berteman dengan mereka ketika itu. Tapi yang jelas Bunda pernah bilang, aku ini anak yang unik, keras kepala, sekaligus penuh perhitungan. Senang minum susu, dan suka makan sayur. Kalau sudah ada maunya, akan usaha sampai berhasil. Itu perkataan Bunda tentangku, yang dulu mungkin sering terpikir oleh beliau padaku. Bunda dan Abah juga bilang, aku juga punya sahabat perempuan, bernama Anggi kala aku masih kecil. Dia tinggal di depan rumah aku, namun rumahnya berada di 2 rumah depan aku. Mereka bilang kami berdua sangat dekat, yah bagaikan 2 bocah yang sering terlihat senang ketika bermain bersama, persis seperti iklan susu kalengan anak. Entah mengapa tapi sepertinya aku tidak ingat akan dia. Memang karena masih bocah, atau karena frekuensi kami berdua yang berbeda.Karena kadang balita berbicara dengan rekannya tanpa tahu apa yang mereka bicarakan, mungkin itulah yang terjadi kala itu. Kalau saja aku bisa bertemu lagi dengan dia, mungkin aku akan ingat dengannya. Apa boleh buat, dia telah pindah ke rumah lain. Hengkang dari Pamulang sebelum aku mengenalnya lebih jauh. Entah di mana keberadaannya sekarang, di pulau Jawa atau bukan saja, aku tak tahu.

1.2 Waktunya Berseragam, nak!



“ Saatnya berseragam nak! ,“ itu adalah pikiran yang pasti terlintas di benak ibu ketika mau menyekolahkan anaknya. Umur aku beranjak 4 tahun, berarti sekitar tahun 1997. Bunda menyekolahkan aku di sebuah Taman Bermain di dekat rumah. Mungkin karena mengikuti jejak tetangga-tetangga yang menyekolahkan anaknya di Taman Bermain itu. Aku bersama 3 teman balita aku yang tinggal satu gang jalan, akhirnya bersekolah di Taman Bermain itu. Taman Bermain itu bernama Taman Kanak-Kanak Widiya Tama. Sebuah sekolah untuk balita, demi mempersiapkan bocah-bocah lima tahun ke bawah untuk mengenal sopan santun sampai belajar aksara latin.



Berpakaian rompi merah-merah, motifnya sekilas terlihat seperti motif Skotlandia Utara. Celananya bunglon, alias mengikuti motif rompi aku. Itulah seragam ala Widiya Tama. Kadangkala panas memakai rompi itu, mungkin karena bahannya dari Polyester atau karena perasaan aku saja. Masuk TK jam 8 pagi, kadang kelas diputar ke siang hari karena keterbatasan ruang belajar mengajar. Gedung Widiya Tama sebenarnya adalah rumah biasa, hasil dari kerja keras sang pekerja kontrakan developer. Namun gedung itu dirubah oleh beberapa guru amazing yang menginginkan pendidikan di bawah umur di wilayah Permata Pamulang pada waktu itu. Karena pada waktu itu, mencari Taman Kanak-Kanak susahnya bukan susah munafik. Kebutuhan akan pendidikan sudah banyak pada waktu itu, di wilayah Permata Pamulang. Alhasil mereka yang bersekolah di Taman Kanak-Kanak sebelum didirikannya TK Widiya Tama, harus menempuh perjalanan menuju Pamulang Kota demi mendapatkan pendidikan untuk bocah bawah lima tahun itu. Pilihan kedua adalah, menembus jalan belakang Permata Pamulang, bersekolah di Taman Kanak-Kanak daerah Bogor. Namun ketika TK Widiya Tama ini didirikan, tak tanggung –tanggung orang tua yang tinggal di sekitar pun langsung berbondong-bondong menyekolahkan anak dibawah 5 tahunnya untuk bersekolah di tempat itu. TK Widiya Tama adalah TK yang simple. Di depan gedungnya, terdapat taman bermain berlantaikan bata konblok, dihiasi oleh bola-bola berongga hasil bikinan tukang las. Di samping bola rongga itu, terdapat jungkat-jungkit dan “perosotan”. Biasa dimainkan anak-anak saat istirahat, mau masuk kelas, atau menunggu jemputan datang.

Sepertinya jika diceritakan dalam satu tugas ini, tak akan habis pengalaman masa kecil aku ini. TK Widiya Tama adalah sekolah yang mengajarkan perilaku sopan santun dalam lingkup masyarakat. Guru-gurunya mengerti akan bakat anak-anaknya masing-masing. Ibu Yoyo, Ibu Santi, Ibu Tri, aku masih ingat nama-nama mereka. Merekalah orang-orang yang berperan dalam mengajarkan pondasi sopan-santun kelak yang akan aku gunakan dalam menghadapi dunia ini. Mereka yang mengajarkan aku aksara latin dan tambah menambah kedua kali setelah orang tua aku. Mereka juga yang berperan mengajarkan aku untuk tabah dan berdoa kepa Allah SWT. Apalagi saat kondisi pada tahun 1998, di mana terjadi kerusuhan yang berakar pada reformasi Indonesia ini, ajaran mereka menjadi bekal aku dalam tabah menghadapai situasi tersebut.

Saat itu keluarga aku tegang karena kondisi itu. Bagaimana tidak, abah adalah seorang wartawan, kala itu pula kebebasan pers masih tidak seperti sekarang. Jadi saat genting-gentingnya situasi seperti itu jika Koran Kompas membuat kesalahan dalam artikelnya, bisa terjadi penutupan terhadap kantor abah, bahkan nyawa jadi taruhannya. Apalagi saat kerusuhan merembak ke Pamulang. Yang paling aku ingat adalah ketika itu Tomang Tol, sebuah pusat perbelanjaan di Pamulang, habis diludes oleh para perusuh. Membuat abah memilih menginap di Kantor untuk beberapa saat. Situasi di Komplek Permata Pamulang ini pun mulai menegang. Ditambah lagi kerusuhan tahu 1998 itu berbau SARA terhadap etnis Tionghoa. Akibatnya, banyak warung-warung milik orang Tionghoa ditutup. Bahkan ditulisi sebuah spanduk”, Milik orang Islam” di depan pintunya. Namun Alhamdullilah, tidak terjadi kasus pembunuhan karena kerusuhan itu di dalam komplek ini. Untungya tidak seperti di Jakarta, di mana etnis Tionghoa banyak yang dibantai kala itu. Tak lama setelah itu, terjadi krisis moneter, yang juga menandakan turunnya kekuasaan Soeharto.

Krisis moneter di mana banyak harga barang naik lebih dari 2x lipatnya, di mana terjadi kekacauan pasca reformasi yang diusung oleh para mahasiswa seluruh Indonesia. Klimaksnya ditandai dengan para mahasiswa yang menjebol masuk gedung DPR, dan menduduki atap gedung DPR pada waktu itu. Iya benar, inilah tahun berhati-hati. Berhati-hati dalam hal ekonomi sampai dalam hal mental. Tak tahu siapa dalangnya, ada yang berkata Soerharto ada juga yang berkata para anggota DPR. Situasi politik waktu itu memang berliku-liku. Korupsi dari pihak pemerintah pun merajalela, namun tertutup karena ketidak bebasan pers seperti sekarang. Yang terang hanyalah korupsi yang dilakukan oleh pihak swasta. Contoh kasus Bank Duta misalnya, yang sempat menjadi gempar akibat perbuatan sang Dicky Iskandar Dinata, Wakil Direktur Bank tersebut, pada era 90, yang merugikan nasabah-nasabahnya hinggga 800 Miliar Rupiah.

1.3 Hap-Hap! Masuk SD , nih.



Setelah sekitar 4 tahunan sejak masuk Taman Kanak-Kanak Widiya Tama, aku dinyatakan lulus dengan sertifikat ala Widiya Tama. Berbekalkan kemampuan hitung menghitung dan kemampuan baca tulis aksara latin. Bunda mendaftarkan aku masuk Sekolah Dasar, fase pendidikan yang diwajibkan oleh pemerintah. Kali ini, aku sendirian mendaftar ke SD itu, tak ada lagi teman dari satu komplek yang menemani. Sekolah itu bernama Sekolah Dasar Cikal Harapan, terletak di BSD. 6 Tahun aku mendalami ilmu di SD itu, milik Yayasan Permata Sari, masih ingat betul aku.

Tak ada lagi seragam berompi ala Skotlandia Utara di Cikal Harapan ini. Yang ada baju ala Sekolah Dasar berdasi motif simbol Yayasan Permata Sari, dan seragam Pramuka khusus untuk Hari Sabtu. Gurunya pun juga lebih banyak, tak lagi semudah membalikkan telapak tangan kalau ingin menghitung jumlahnya. Kelasnya tak usah berganti siang atau pagi seperti shift karyawan, karena cukup tersedia kelas di Sekolah Dasar Cikal Harapan ini. Di sini juga ada satpamnya, tugasnya pastilah mengawasi anak-anak beranjak remaja ini aman.

fotoku bersama keluarga saat SD.


Di Sekolah Dasar Cikal Harapan inilah, aku mulai belajar tentang kehidupan dan bersosialisasi dengan teman-teman yang berasal dari berbagai sudut kota Tangerang, tak ada yang dari Jakarta waktu itu karena jauhnya jarak memisahkan antara kota calon metropolitan Tangerang ini dengan ibukota. Kalau ditanyakan tempat tinggal oleh teman-teman saya, tak heran jawaban yang keluar dari mulut mereka”, Widih jauh amet gi rumah kamu “. Namun ketika mereka saling menanyakan rumah mereka, yang ada adalah permainan angka sektor ala BSD. Antara Sektor 1, sektor 2 s,ampai sektor 3, atau nama sektor di perumahan BSD dengan menggunakan bahasa Sansekerta, Nusa Loka sampai Giri Loka. Tidak simple seperti alamatku, cukup berkata “, Permata Pamulang.” Maka mereka semua tahu di mana Pamulang itu berada, haha karena jauhnya letak rumahku itu dari BSD. Sekolahku memang sudah jauh-jauh dari rumah sejak SD. Kalau mau berangkat ke sekolah, ada dua teman barenganku, yang satu bernama Dito tinggal di Permata Pamulang juga, yang satu lagi bernama Tomi, rumahnya juga di Pamulang, tapi lebih jauh daripadaku. Haha tak apalah tapi, aku tak pernah memikirkan itu semua, dan tak mau mengeluh. Karena aku selalu ingat akan pepatah “, Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian ".




Karena aku selalu ingat akan pepatah “, Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”.
Tak hanya pelajaran wajib ala pemerintah saja yang kudapat di sini, pelajaran lain pun kudapat. Aku bisa berenang, aku bisa main gitar, semuanya dimulai sejak SD ini. Aku belajar bisnis pun mulai dari sini. Dengan bermodalkan uang dari orang tua, aku mendirikan sebuah “perusahaan” kecil-kecilan penjual berondong alias popcorn. Alhasil, untung besar aku dapat waktu itu. Tak tanggung-tanggung bisa dapat uang 50 ribu dalam 3 hari. Dengan uang itu, aku sudah berpikir untuk memperkerjakkan teman-temanku sebagai karyawannya. Haha, perusahaan kecil itu kunamakan MDD, singkatan dari Mugi Dito Dio. Dito dan Dio adalah “karyawanku” saat mengelola perusahaan itu. Kami semua bocah kelas 4, belajar bisnis pertama kali dari itu. Juga belajar manajemen bisnis. Saat istirahat tiba, berbondong-bondong orang dari satu paralel kelas ataupun bukan datang untuk membeli berondong kami. Bukan main, banyak sekali yang datang. Antara yang sudah memesan dan baru memesan berondong yang sudah aku plastiki dari rumah itu, bercampur baur. Alhasil, pengalaman mendapat komplain pun pernah kami dapat juga kala itu. Terutama dari mereka yang tidak kebagian berondong yang telah mereka pesan, nasib-nasib betapa manajemen yang sangat buruk waktu itu, tapi tak apalah belajar dari pengalaman, hehe.

Cerita yang paling menyedihkan dalam sejarah hidupku pada fase Sekolah Dasar ini, adalah meninggalnya kakekku, tepat pada hari ulang tahunku, 19 Januari. Kakekku memang sudah sakit sejak sekitar 1 bulan yang lalu dari waktu itu. Sehingga beliau terpaksa pindah dari Lampung menuju Jakarta untuk berobat di ibukota Indonesia. Karena tak ada rumah sakit yang benar-benar memadai kondisi kakekku kala itu di Lampung. Tapi apa daya manusia. Memang ajal tak pandang tanggal, itulah kuasa Tuhan. Pada hari Senin, kalau tidak salah, setelah sholat Zhuhur berjamaah di Masjid sekolah, aku diberi tahu oleh Pak Maksum, guruku tentang hal itu. Sedih bercampur penasaran rasanya kala itu, tak dapat tergambarkan dengan indera ini. Jika bisa, maka akan kugambarkan. Aku dijemput oleh bang Apip waktu itu, kurir kantor ibunda. Ditemani oleh istri oomku, Tante Opi. Penasaran itu hilang menjadi kenyataan, ketika sampai rumahku, dihiasi oleh rangkaian bunga berduka cita, dan jalan-jalan yang dituntun oleh bendera kuning. Tak ada senyum kakek mengucapkan”, Selamat Ulang Tahun, Cucu.” Pada waktu itu, yang ada? Ya bendara kuning, rangkaian bunga, dan perabot duka lainnya. Selamat tinggal kakek…

Namun beruntung juga sebenarnya, tetangga-tetangga membantu keluarga kami. Ketika mereka mengetahui kakek saya meninggal, langsung mereka membantu kami untuk mempersiapkan tenda di depan rumahku, dan peralatan lainnya untuk Yasinan di rumahku. Aku masih membayangkan sekarang, ketar-ketir kami jika tidak ada tetangga yang membantu waktu itu. Yap, inilah buah positif dari bersilaturahmi.

Sementara yang paling menyenangkan? Tentunya jatuh cinta, hehe. Entah mengapa cucu Adam ini mudah sekali jatuh cinta, haha.
Aku lulus dari SD Cikal Harapan pada tahu 2006, kembali melanjutkan ke jenjang SMP

1.4 Wah Udah ABG, nih!


- Abah emang baik


Tahun 2006 tepatnya pada pertengahan tahun itu, mulailah aku ini beranjak SMP. Well, pencarian SMP tak semudah membalikan telapak tangan ternyata. Bagaikan menempuh jalan lurus 5 km dengan merangkak, akhirnya aku menemukan SMP yang cocok, bernama SMP Lazuardi, terletak di Ujung Cinere. Kembali lagi pada kebiasaanku, bersekolah nan jauh dari rumahku.

Tak disangka memang, aku ini termasuk dalam deretan senior di sekolah itu. Maklum saja SMP Lazuardi tahun 2006 adalah SMP yang baru didirikan oleh Yayasan Mizan, pencetak buku-buku terkenal milik Khaidar Bagir. Hanya ada 2 kelas yang dibuka saat angkatanku, angkatan 2. Setiap kelas terdiri dari sekitar 15 orang siswa, tentu bisa dihitung, satu angkatan terdiri dari 30 siswa, waw.

Pernah aku sempat berpikir, “ Mau jadi apa aku selama 3 tahun di sini?”. Benar-benar tidak ada rasa nyaman bersekolah rasanya waktu itu. Mungkin karena kala itu aku adalah anak yang polos, agak susah bergaul dengan teman, atau mungkin karena mentalku. Setiap pagi, di kala mengobrol , aku hanya menutup mukaku dengan tangan sambil duduk di meja kelas sambil menunggu bel. Jangankan jadi anak gaul, teman dekatku saja ketika aku menduduki kelas 7 bisa dihitung dengan 1 kali ronde jari, alias kurang dari 10. Pernah suatu ketika untuk bermain bola saja kala itu, aku berbohong tentang pengalaman bermain bolaku. Seolah-olah aku adalah seorang pemain bola yang handal. Alhasil kala itu, Tuhan membuka kebohonganku, bukannya bermain seperti bermain bola, yang ada malah terpeleset saat bermain bola, konyolnya diriku ini.

Tapi ternyata, kembali mengingat sebuah idiom dari Inggris itu “, Don’t judge a book by it’s cover “. 3 tahunku di Lazuardi ini ternyata tidak seperti yang aku pikirkan saat kelas 7 itu. Tahun-tahun di sini penuh keceriaan dan pengalaman. Guru-guru lah yang pertama kali memberikanku motivasi dan pelajaran akan berteman. Pernah juga suatu ketika, ada kejadian pelecehan atau bullying di sekolahku. Aku juga sempat jadi korbannya. Guru-guruku lah yang membelaku di saat itu. Ibu Yun, Ibu Nunik, Ibu Desi, dan ibu-ibu ataupun perempuan luar biasa lainnya yang bekerja sebagai guru. Mereka adalah sekumpulan guru yang berpikiran open minded, pengertian, dan berjiwa seperti Ki Hajar Dewantoro. Pahlawan tanpa tanda jasa.

Di saat SMP pula, aku mendalami ilmu organisasi, seperti OSIS. Walau pernah mencalonkan diri sebagai ketua OSIS, tapi apa boleh buat aku kalah dalam pemilihan suara , haha. Sindiran dan provokasi politik pernah kudapat saat itu, saat mencalonkan menjadi ketua OSIS, dari kakak kelas. Sakit hatiku mendapat sindir-sindiran dan ejek-ejekan itu, tapi dari situlah aku belajar, politik itu keras , begitu juga hidup ini.
Di saat SMP pula, aku juga memahami arti kekurangan dan kelebihan orang lain. SMP Lazuardi adalah sekolah yang mencampur baurkan anak “special needs” alias autis/idiot dengan anak normal lainnya. Jadi setiap kelas, biasanya terdapat satu anak dengan “kebutuhan khusus” itu. Ada satu anak yang bernama Andre kala itu, anak “special needs”. Aku banyak memahami tentang arti yang telah kusebutkan dalam awal paragraf ini. Cita-cita anak itu sederhana, dia ingin menjadi seorang ustadz. Orang tua kakak dan adiknya sangat mendukung, dan sangat sayang padanya. Tapi dakwah yang pernah dia sampaikan? Tak tanggung-tanggung dan banyak, sampai dia pernah berceramah di depan “warga Universitas Indonesia” di suatu acara universitas itu. Walau dengan bahasa yang sederhana, sesuai dengan kemampuannya, suatu hal yang belum tentu bisa saya lakukan. Di sinilah aku juga belajar akan kekuatan ikhtiar, alias kerja keras. Seperti hadits nabiku, Muhammad Rasullulah SAW, “ Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti dia berhasil “. Dari sini aku juga mendapat pelajaran berharga, kekurangan bukanlah suatu halangan, namun satu ujian yang dapat menjadi nilai tambah bagi kita. Sungguh luar biasa upaya si Andre itu. Aku tak pernah berjumpa dengannya lagi sekarang , sejak bertemu dengannya di SMA Labschool Kebayoran, tahun 2010 lalu kalau tidak salah.

Bersama Teman-Teman SMP, kangen juga.


Itulah Lazuardi, SMP Lazuardi atau kadang disebut Lazuardi Junior High School. Kadang kusebut dengan sekolah pembuka pikiran. Persis seperti sekolah yang ada di buku Toto-Chan. Mungkin susah untuk menceritakan seribu keajaiban yang terdapat di sekolah itu, sekolah di pojok kota Cinere, dalam satu tulisan ini. Tapi yang jelas, sekolah itu membuka pikiranku.


1.5 Yeah, Willkommen bei Dschungle!

Yeah, Willkommen bei Dschungle, berarti “Selamat datang di hutan belantara “ dalam bahasa Indonesia. SMA adalah saat di mana aku “bakal” beranjak dewasa, saat di mana aku membuka pertemanan yang luas yang akan berguna kelak nanti terjun ke dunia kerja. Inilah SMA, saat di mana aku mengalaminya ketika menulis tentang otobiografi sederhanaku ini.

Aku bersekolah di SMA Labschool Kebayoran, sebuah Sekolah Menengah Atas yang berada di Kebayoran Baru. Inilah masa-masa yang sekarang ini kualami, seru rasanya. Banyak orang yang bilang memang, terutama mereka yang sudah merasakan “gimana asiknya” saat berada di fase sekolah menengah atas ini. Aku pun juga tahu, bagaimana duduk di bangku sma itu.

Jujur saja, kembali aku ini belajar merantau dari Permata Pamulang. Tak ada teman satu SMP denganku. Tak sama seperti teman-teman yang kujumpai di Labschool ini, kebanyakan dari mereka pernah satu sekolah dulunya. Perjalanan dari SMA sampai sekolah memakan waktu sekitar 45 menit di saat jam 5 pagi, itulah jam di mana aku biasa berangkat, bersama Abah yang bekerja di daerah Palmerah. Pulangnya? Lebih dari 1 jam tentunya, menaiki metro mini bernomor 72 dilanjutkan 2 jenis angkot yang berbeda fakultas, alias jurusan. Sekilas aku berpikir, “ apakah bisa Tokoh Lintang yang ada di dalam novel Laskar Pelangi melewati hari-hariku seperti ini?”. Zaman Lintang dahulu tidak ada polusi, dia tidak tinggal di Jakarta! Pulang pergi pakai sepeda, sekarang malah lagi tren pulang pergi pakai sepeda di Jakarta. Yah tapi itulah hidup, masing-masing orang memiliki jalan cerita yang berbeda. Lintang punya semangat yang kuat, aku juga harus punya itu.

SMA ku ini unik. Tak hanya mengajarkan tentang nilai-nilai bersifat akademis, tapi juga mengajarkan nilai-nilai mental. Ada kegiatan seperti tinggal bersama penduduk desa, bernama Trip Observasi. Sampai “outbond” yang dilatih oleh para Kopasus, bernama Bintama. Mungkin pengalaman yang kudapat itu belum tentu bisa didapat oleh orang lain, inilah Labschool Kebayoran.

Ada benarnya juga kata orang-orang tentang asiknya SMA itu. Teman-temannya unik, gila, konyol terkadang, namun penuh pengetahuan. Di masa ini, aku mengenal lebih banyak tipe orang. Mungkin sebenarnya aku sudah mengenal banyak tipe orang sebelum SMA, tapi kala itu masih dengan sudut pandang polos, belum mengerti baik buruknya sifat seseorang. Aku sudah mulai bisa membedakan sekarang, mana pribadi temanku yang di luar berbaju baja namun di dalam berbaju kutang, dan mana yang di luar berbaju kutang di dalam berbaju baja. Yap, idiom dari Inggris itu kembali kuingat “, Don’t judge a book by it’s cover”.

Di masa ini juga, aku mendapat pengalaman organisasi yang jauh lebih banyak. Jauh lebih banyak. Tak lagi secuil biji duku seperti masa-masa sebelumnya, di mana belajar organisasi merupakan formalitas dari sekolah, dari kepala sekolah tepatnya atas usul para orang tua.

Belajar Organisasi saat SMA




Di masa SMA ini juga, aku lebih banyak membaca Koran dan mengerti tentang seluk beluk politik. Tak seperti zaman SMP yang mengerti politik, namun ketika berbicara politik, yang ada malah membuat narasi khayalan seribu satu kata. Hal ini juga membuatku sadar, bahwa menganalisa sesuatu tanpa ilmu seperti mencari biji salak di dalam kegelapan. Bisa-bisa bukan biji salak yang ditemukan, tapi tanah garapan dari tangan mencari-cari biji salak itu. Aku bisa jadi lebih tahu sekarang dari 2 sisi politik karena masa SMA ini. Tentang mengapa Indonesia tidak menyerbu Malaysia, yang memperkerjakan 2 juta lebih tenaga kerja Indonesia, atas kejahilannya dalam hal perbatasan wilayah. Tentang mengapa hanya Gayus Tambunan, koruptor dari sang lembaga pengatur pajak negara ini, yang hanya di senter-senteri oleh pemerintah yang takut akan terbongkarnya oknum-oknum busuk departemen itu. Tentang sisi buruk PKS, yang memainkan peran ketidakadilan dalam impor daging, berbanding terbalik dengan namanya. Yah itulah salah satu perkembanganku, tapi aku harus ingat,harus objektif!

Bersama Tim Jurnalistik SMA ,Aku Pemrednya



Belum banyak yang bisa kuceritakan tentang SMA pada saat menulis otobiografi singkat ini. Karena aku ini sedang mengalaminya. Belum ada rasa kangen walau tak bertemu dengan teman SMA selama liburan, misalnya. Beda halnya dengan mereka, yang menulis otobiografi jauh sesudah lulus SMA. Yang pasti, aku malah membuat visi dan misiku saat berada di SMA ini. Aku tak mau berfoya-foya dalam imajinasi dan kenangan terlebih dahulu yang kudapat di SMA , sebelum aku sukses setelah SMA. Sukses atau tidaknya, ditentukan oleh kerja kerasku dari sekarang. Inilah aku, watakku yang terbawa dari lahir. Aku tak mau jadi orang pemalas, aku harus jadi orang sukses..

Bersama Teman-Teman SMA



1.6 Ke Depannya, Aku Harus di Depan!



Aku mempunyai cita-cita tinggi. Yang harus kucapai dengan kerja keras. Tak mungkin tercapai tanpa kerja keras, cita-citaku adalah berkuliah di Austria. Cita-cita terbesarku adalah menolong banyak orang atas ilmu yang ingin kugapai setinggi-tingginya. Aku melihat, terutama orang Indonesia, banyak yang pintar , tapi tak bisa memberikan dampak positif bagi bangsa,negara, dan masyakarat sekitarnya. Sebut saja Gayus Tambunan yang awal tahun 2011 ini sedang marak-maraknya karena kasus korupsi pajak. Didikan STAN ,berisi orang-orang pintar. Bagaimana tidak? Saringan dilakukan terhadap manusia-manusia di nusantara ini yang ingin masuk sekolah negara itu. Tak mungkin orang-orang macam Pak Ogah dalam animasi Unyil yang masuk ke sekolah itu, pastilah orang pintar. Namun keuntungan apa yang dihasilkan olehnya pada negara dan masyarakatnya ini? Nihil, nol hasilnya. Orang seperti itu sama saja seperti parasit nyamuk demam berdarah yang menghisap darah manusia, kemudian meninggalkan penyakit. Tak ada kebaikan darinya, tak ada senyum yang dimunculkan oleh masyarakat kepadanya, kosong melompong. Yang ada adalah umpatan kata-kata dari masyarakat kepadanya.

Aku tak mau menjadi orang seperti itu, pintar tapi mental tempe, atau pintar tapi bodoh akan kepedulian sekitar, atau bahkan pintar tapi be-EQ rendah. Aku mau menjadi orang yang berguna bagi masyarakat sekitar. Memegang kepercayaan dan amanat yang diberikan padaku. Aku ingin memberantas kemiskinan dan kebodohan semampuku. Untuk itu, aku harus bekerja keras dalam mencapai cita-citaku, tak mungkin aku duduk diam sambil ngopi saja lalu tiba-tiba aku dapat semua ilmu itu, tak mungkin.

Inilah misiku, dan itulah visiku. Tak boleh aku tak memiliki visi dan misi. Tak boleh juga aku memiliki visi dan misi tapi duduk diam di kobangan. Setiap harinya aku selalu berjanji menjadi orang yang lebih baik. Yang lebih banyak memberi ketimbang diberi, seperti kata gurunya Andrea Hirata yang ia ceritakan dalam novel Laskar Pelanginya. Aku telah mendapat pelajaran hidup, dari pengalaman yang kudapat selama ini, yang bisa kugunakan sebagai bekal untuk menuju ke depannya.

Aku juga harus melihat ke depan, harus juga melihat ke belakang, sebagai tanda motivasiku.

Ketika aku berkata aku ingin berkuliah di Austria, aku harus berusaha. Aku ingin mencari beasiswa untuk pergi ke sana. Aku tak mau merepotkan orang tuaku. Sudah cukup aku merepotkan mereka saat aku masih berak di celana. Aku harus mandiri. Karena aku juga yakin”, Siapa yang bersungguh-sungguh pasti dia berhasil.” Itulah ucapan Rasul dan Nabiku Muhammad SAW , yang selalu ada dalam benak pikiranku.

Itulah rancangan hidupku, aku tak mau menghayal-hayal lagi, aku harus mendapatkannya. Itu adalah hal penting bagiku, bagi hidupku , dan dalam hidupku. Ketika aku jatuh, aku harus bediri lagi. Seperti kata orang Jepang ketika jatuh, mereka ingat konsep Ganbatte, berdiri dan bangun walau ditempa ujian yang berat. Seperti yang terjadi di Jepang awal 2011 ini, ketika Tsunami melanda negara matahari tersebut, Ganbatte Ganbatte Ganbatte! Jepang berusaha bangkit.

Aku ingin punya mental seperti orang Jepang, Ganbatte dan pekerja keras. Tapi aku juga ingin dekat pada Tuhanku, Allah SWT. Tanpa-Nya, aku bukanlah apa-apa.





Aku bersama adik, Adhia














Bersama Keluarga, Abah yang foto.



0 comments:

Post a Comment

 

Design modified by mugimunteng | Basic Design by Dzignine in Collaboration with Trucks, SUV, Kidney Stones