Narasumber
Meskipun awalnya saya cukup kebingungan untuk mencari narasumber ketika diberi tugas kedua ini, akhirnya saya mewawancara ibu saya yang bernama Henriette Maulana. Beliau lahir di Balikpapan pada tanggal 20 November 1962. Beliau merupakan anak kelima dari enam bersaudara, lahir dari John Fritz Tontey dan Theresia Maria. Ketika TK dan SD beliau menimba ilmu pengetahuan di Balikpapan, namun ketika SMP dikarenakan ayah beliau meninggal dunia, akhirnya beliau pindah ke Surabaya. Beliau menamatkan pendidikan sarjananya di Universitas Surabaya di Surabaya dan mengambil jurusan hukum. Beliau menikah pada tahun 1992 dengan Chandra Maulana, yakni ayah saya. Dan memiliki empat anak, saya adalah anak pertama.
Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 – 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Peristiwa ini mirip dengan Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian terhadap orang Tionghoa.
Pengusutan dan penyelidikan
Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan TGPF" Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatarbelakang militer. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini. Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.
Penuntutan Amandemen KUHP
Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan amandemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998), disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam, anal, dan oral. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.
Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta:
1. Marzuki Darusman, SH
2. Mayjen Pol Drs. Marwan Paris, MBA
3. K.H. Dr. Said Aqiel Siradj
4. Dr. Rosita Sofyan Noer, MA
5. Zulkarnain Yunus, SH
6. Asmara Nababan, SH
7. Marsma TNI Sri Hardjo, SE
8. Drs. Bambang W. Soeharto
9. Prof. Dr. Saparinah Sadli
10. Mayjen TNI Syamsu D, SH
11. Mayjen Pol Drs. Da’i Bachtiar
12. Mayjen TNI Abdul Ghani, SH
13. I Made Gelgel, SH
14. Mayjen TNI Dunidja D
15. Romo I. Sandyawan Sumardi, SJ
16. Nursyahbani Katjasungkana, SH
17. Abdul Hakim Garuda, SH, LLM
18. Bambang Widjojanto, SH
Keterlibatan
Prabowo Subianto
Prabowo diduga kuat mendalangi Kerusuhan Mei 1998 berdasar temuan Tim Gabungan Pencari Fakta. Dugaan motifnya adalah untuk mendiskreditkan rivalnya Pangab Wiranto, untuk menyerang etnis minoritas, dan untuk mendapat simpati dan wewenang lebih dari Soeharto bila kelak ia mampu memadamkan Kerusuhan, yang mana ternyata ia gagal. Dia juga masih belum diadili atas kasus tersebut.
Sjafrie Sjamsoeddin
Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan Mei.
Laporan Akhir TGPF
Pertama, sebagai sebuah hasil investigasi pelanggaran hak-hak asasi manusia, ringkasan laporan akhir TGPF tidak menguraikan bentuk, jenis dan hubungan-hubungan pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan Mei. Misalnya, kapan dan mengapa suatu peristiwa kekerasan harus disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dan kapan itu merupakan tindakan pidana. Hal ini antara lain disebabkan oleh penggunaan bahasa yang cenderung eufemistis, dan kaburnya konsep-konsep pelanggaran hak asasi manusia yang digunakan, yang berakibat laporan itu di sana-sini mengalami pengaburan makna. Akibatnya, laporan ini gagal menunjukkan siapa yang harus memikul konsekuensi pertanggungjawaban konstitusional dari pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam kerusuhan tersebut.
Kedua, Ringkasan laporan akhir TGPF menggambarkan secara kentara adanya keseimbangan yang labil antara aparat negara dengan wakil-wakil masyarakat di dalam TGPF. Hal ini sangat kentara dalam bab mengenai analisa, kesimpulan dan rekomendasi, yang nampaknya merupakan hasil dari tawar menawar antara dua belah pihak yang sejak awal memiliki kepentingan berbeda. Dalam konteks itu, adanya nota keberatan (minderheits nota) dari aparat negara terhadap beberapa kesimpulan dan bagian penting lain dalam ringkasan laporan TGPF itu menjadi indikasi dari keengganan negara untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi TGPF.
Ketiga, Rekomendasi TGPF tidak maksimal. Dalam konteks mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh ABRI, TGPF hanya merekomendasikan penyusunan Undang-undang tentang intelejen negara (butir 7 bab rekomendasi). Padahal, sumber pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh ABRI adalah doktrin dwifungsi yang membenarkan organisasi angkatan perang ini berpolitik dan mengintervensi wilayah hak-hak sipil dan politik warga negara. Suatu operasi intelejen terhadap kegiatan politik sipil dimungkinkan oleh doktrin dwifungsi ABRI itu. Tapi tentu saja tidak bisa dibayangkan bahwa wakil-wakil ABRI dalam TGPF akan menyetujui suatu rekomendasi yang membunuh dirinya sendiri.
Keempat, butir pertama dari rekomendasi TGPF yang mendesak negara (pemerintah) melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kerusuhan Mei patut dipertanyakan. Rekomendasi itu tidak menyebut perlunya keterlibatan pihak independen dalam penyelidikan tersebut, melainkan menyerahkan sepenuh-penuhnya kepada pemerintah. Hal ini kontradiktif dengan asumsi awal pembentukan TGPF sendiri, yakni suatu investigasi pelanggaran hak-hak asasi manusia haruslah independen dan karena itu tidak bisa dilakukan sendirian oleh negara. Pada saat bersamaan, rekomendasi itu juga telah menimbulkan pertanyaan atas kemampuan dan capaian TGPF sendiri.
Kelima, dalam hubungannya dengan point pertama, terdapat suatu indikasi yang cukup dalam laporan itu yang menunjuk pada usaha untuk membebankan kesalahan tertinggi terutama kepada Letjen. Prabowo Subianto (Pangkostrad ketika itu). Hal ini tidak konsisten dengan kesimpulan TGPF bahwa sebab pokok kerusuhan Mei adalah pergumulan elit politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan (eks) Presiden Soeharto. Sayangnya, meski kesimpulan dan rekomendasi dalam ringkasan itu sama-sama menyebut perlunya penyelidikan atas pertemuan di Markas Kostrad tanggal 14 Mei 1998, tapi tidak ada satu pun penjelasan dalam laporan itu yang menunjukkan korelasi antara kerusuhan Mei, pertemuan di markas Kostrad, dengan kepentingan mempertahankan kekuasaan Soeharto.
Keenam, PBHI mendesak agar Laporan Akhir TGPF yang memuat secara lengkap temuan fakta-fakta kerusuhan dan kesaksian korban segera diumumkan kepada publik. Masyarakat berhak untuk mengetahui fakta-fakta, menarik kesimpulan sendiri dari fakta-fakta itu, dan menggunakan fakta-fakta itu untuk menilai laporan akhir TGPF. Publikasi dari hanya ringkasan laporan akhir TGPF patut dipertanyakan, sebab bisa dianggap menggiring dan membatasi opini masyarakat tentang apa yang terjadi dalam kerusuhan Mei dan bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang seharusnya dipikul oleh negara.
Pandangan Beliau
Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998 tersebut, semua serba susah. Bahkan beliau mengalami masa-masa dimana sangat susah untuk mencari susu, untuk saya dan adik saya yang pertama. Karena pada masa itu saya berumur 4 tahun, sementara adik saya berumur hampir 3 tahun. Selain itu, ayah saya harus pulang kantor dengan berjalan kaki akibat susahnya untuk mencari kendaraan umum.
Selain itu juga situasi keamanan tidak menentu, perbankan dan ekonomi stagnan, dikala itu pasar juga tutup. Berdasarkan berita yang ibu saya tonton, juga terjadi penjarahan. Selain itu pandangan internasional juga menjadi buruk, contohnya negara-negara ASEAN, maupun Australia.
Kala itu, pandangan Australia mengenai Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan, berdasarkan dengan regional wilayah Indonesia dan Australia yang merupakan negara “barat” terdekat. Walaupun Indonesia bukan merupakan negara yang berdasarkan Islam.
0 comments:
Post a Comment