otakatikawas!

otakatikawas!

Permata Hijau Bagi Minangkabau

|
Namanya bagi kalangan akademisi, dan cendekiawan Islam mungkin sudah tidak asing lagi, tapi selain dari kalangan itu saya yakin tidak begitu banyak yang mengenal sosoknya.
Dia adalah adalah ayah dari diri penulis sendiri, yaitu Azyumardi Azra. Memang terdengar cukup unik namanya. Azyumardi berarti “permata hijau”. Dia dikenal akan pengetahuan dalam hubungan antar agama dan sejarah-sejarah modern islam. Beliau kini menjabat sebagai Direktu Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Sebelum menjadi Direktur Pascasarjana UIN, beliau menjabat rektor di universitas yang awalanya bernama Insistut Agama Islam Syarif Hidayatullah itu.
Azyumardi Azra. Anak ketiga dari 6 bersaudara dilahirkan di Lubuk Alung, Padang, Pariaman, pada tanggal 4 Maret 1955. Ayahnya adalah Bagindo Azikar seorang tukang kayu, pedagang kopra dan cengkeh. Dan ibunya adalah Ramlah, berprofesi sebagai guru agama dikampungnya. Dari nama kakek dan nenek saya tersebut, AZikar Ramlah muncullah nama belakang Azra yang diberikan kepada setiap anaknya dan kelak akan diberikan kepada beberapa cucunya.
Mungkin sudah pernah dikatakan sebelumnya oleh beliau dalam suatu acara talkshow bahwa beliau belajar membaca tidak hanya dari koran, tapi juga dengan memperhatikan tulisan pada bus yang lewat di depan rumahnya dulu. Bukan hanya karena lokasi rumah di Lubuk Alung yang berada di tengah pasar, tapi juga karena pernah ayah beliau, kakek saya, yaitu Azikar menempuni usaha mengelola armada bus, walau hal itu tidak bertahan cukup lama.
Pendidkan keluarga oleh kakek saya cukup keras. Pernah suatu hari kakek menghukum beliau untuk menatap langit dibawah terik matahari karena ketahuan mangkir dari pekerjaannya menyapu halaman setelah beliau melihat pesawat lewat di atas rumahnya. Sikap keras dalam mendidik anak ini diteruskan oleh beliau ke kami. Atau setidaknya kepada kedua kakak saya karena  di masa saya ini sepertinya beliau mulai sibuk dengan pekerjaannya.
Pendidikan formal beliau dimulai dari Sekolah Dasar dekat rumahnya di kampung Lubuk Alung. Untuk menempuh jenjang pendidikan Menengah Atas/sederajat, yaitu sekolah Pendidikan Guru Agama, beliau harus ke kota Padang yang cukup jauh. Dari dulu beliau terkenal akan kecerdasannya, terutama pada bidang matematika. Beliau pernah menjadi juara dalam bidang matematika pada saat itu.
Pada awalnya beliau tidaklah terobsesi atau bercita-cita menggeluti studi keislaman. Tamat PGA (1975), ia inging meneruskan ke Institut keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang atau belajar sejarah di Universitas Andalas. Tetapi ayahnya, kakek saya, berkeras kepala agar beliau melanjtukan pendidikannya di IAIN Jakarta. Bahkan kakek saya sampai mengacam tidak akan membiayai pendidikan beliau. Akhirnya beliau menentukan sikap, kuliah di IAIN yang ada di Jakarta daripada tidak sama sekali. Setelah beliau pikirkan, ternyata pertimbangannya adalah kota metropolitan seperti Jakarta merupakan tempat kosmopolit  yang kondusif untuk menghirup udara intelektual. Mendaftarlah beliau di Falkutas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sikap intelektualnya pun bertumbuh  alami dari awal seiring dengan komunitas diskusi yang dimasukinya. Ketika masih mahasiswa. Komunitas intelektualnya adalah Forum Diskusi Mahasiswa Ciputat (Formaci), kemudian di HMI lingkungan Ciputat. Setelah itu meningkat ke LP3ES, bahkan sampai ke LIPI. Semasa mahasiswa beliau memang dikenal aktif dalam berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Di antaranya pernah menjadi Ketua Senat mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, dan Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.
Beliau lulus dari fakultas Tarbiyah IAIN JAKARTA pada tahun 1982, dan meneruskan kegiatannya sebagai wartawan majalah Panji Masyarakat yang telah dilakoninya sejak masih mahasiswa, tahun 1979, di samping sempat pula bekerja sebagai peneliti di LKRN LIPI (1982-1985). Kedua kegiatan ini, wartawan dan peneliti, diakui oleh beliau menjadi modal baginya kelak di kemudian hari sebagai intelektual dan pemikir Islam yang sangat produktif menulis buku maupun kolom di berbagai media.
Kegaitan beliau sebagai wartawan dan menulis kolom merupakan bentuk perwujudan kecintaan beliau terhadap buku. Pernah suatu ketika beliau membeli 1 truk penuh buku bekas berbahasa Inggris padahal beliau sendiri belum begitu paham bahasa Inggris. Kecintaannya pada buku ini diteruskan ke pada setiap anaknya.
Pada sekitar tahun 78-80-an pernah digelar suatu demo di IAIN Syarif Hidayatullah guna memprotes masuknya Aliran Kepercayaan sebagai Agama dalam GBHN. Beliau pun turut serta dalam demo tersebut. Seperti pada demo-demo lain yang terjadi pdi era Orde Baru, demo tersebut berakhir ricuh. Segerombol tentara menerobos masuk kampu IAIN dan bahkan sampai memaksa rektor IAIN kala itu diangkut keatas truk. Beruntung ayah saya berhasil lolos dan beliau pun bersembunyi di rumah pamannya di Bendungan Hilir. Di rumah pamannya, yaitu Ali Murni, beliau bersembunyi cukup lama sampai dia hanya perlu melaksanakan wajib lapor selama beberapa minggu. Hutang budi ini beliau terus simpan sampai sekarang.
Sejak tahun 1985 beliau menjadi dosen bagi almamaternya. Setahun kemudian, 1986, ia memperoleh beasiswa Fullbright Scholarship untuk melanjutkan studi ke Columbia University, Amerika Serikat. Beliau memperoleh gelar MA (master of Arts) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah paada tahun 1988. Setelah itu ia juga memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tapi kali ini beliau beliau pindah ke Departemen Sejarah dan memperoleh gelar MA kedua tahun 1989, dan mendapat gelar Master of Philosophy (Mphil setahun berikutnya. Gela r beriktunya adalah gelar doctor atau Ph.D yang diraih pada tahun 1992.
Kembali ke Jakarta tahun 1993, di samping mengajar beliau mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Di sampingitu juga beliau menjadi wakil direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta. Tapi hanya setahun kemudian, beliau kembali melanglang buana. Selama tahun 1994-1995, dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris sambil mengakar sebagai dosen pada St. Antonhy College. Beliau pernah pula menjadi profesor tamu pada University of Philippines di Filipina dan Universitas Malaya, Malaysia, pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Japan Center, Tokyo, Jepang pada tahun antara 1997-1999.
Pada tahun 1998 beliau terpilih menjadi Rektor IAIN dan berlanjut ke periode dua, empat tahun kemudian. Di bawah kepemimpinannya sebagai rektor, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkembang pesat. Beliau lantas memperlebar makna kampusnya, dari IAIN menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sejak Mei 2002. Perubahan itu didasarkannya pada ide rektor terdahulu, Prof. Dr. Harun Nasution (yang ditangkap pada peristiwa penyerbuan IAIN), yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis, dan toleran. Yaitu lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dan ilmu umum terutama sains, dan tidak memahami Islam secara literer.memahami Islam secara rasional dan bukan Islam yang bermazhabi atau terikat pada suatu mazhab tertentu saja. Untuk mecapai ide rektor terdahulu tersebut, beliau membenahi kampusnya agar ilmu umum dan agama bias saling berinteraksi. Dengan mengembangkannya menjadi universitas, maka di UIN muncullah fakultas sains, ekonomi, teknologi, MIPA, komunikasi, matematika, dab lain-lain.
Beliau juga ingin agar wawasan keislaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keindonesiaan sebab kampusnya hidup di Indonesia. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak fanatisme dan bermazhab, berbeda dengan mereka yang memahami agama secara literer sehingga pandangan mereka cenderung hitam putih.
Dari biografi singkat ini mungkin bias dikatakan tidak begitu banyak partisipasinya dalam sejarah Indonesia. Tapi saya pribadi beranggapan bahwa beliau akan mencetak tokoh-tokoh yang kelak akan terlibat langsung bagi sejarah Indonesia kelak. Karena memang bergelut pada bidang pendidikan itu merupakan investasi jangka panjang yang hasil mungkin muncul setelah dia yang menanam investasi tersebut lama terlupakan.
Sebagian besar isi tulisan ini di sadur dari 101 Orang Minang Di Pentas Sejarah oleh Hasril Chaniago dikarenakan ketidak hadiran beliau untuk menempuh tugas kerja di Eropa dan baru kembali pada tanggal 13, 2 hari setelah tulisan ini selesai dibuat.

0 comments:

Post a Comment

 

Design modified by mugimunteng | Basic Design by Dzignine in Collaboration with Trucks, SUV, Kidney Stones