otakatikawas!

otakatikawas!

TUGAS 3 SEJARAH: Saya dan Museum Fatahillah

|

Oleh: Rizkiawan Fauzan
Kelas: XI-IPA 1

Perjalanan menuju museum fatahillah
Pada hari Rabu 4 Mei 2011, saya bersama teman-teman pergi ke kota tua yang berada di Jakarta pusat. Tujuan kami pergi ke kota tua adalah untuk memenuhi tugas sejarah yang ke-3 yaitu tentang museum dan juga koleksi artefak yang dimilikinya. Kami memilih kota tua sebagai tempat untuk memenuhi tugas ini karena disana terdapat banyak museum antara lain adalah museum wayang, dan museum fatahillah. Perjalanan kami dimulai dari Labschool Kebayoran, mengingat waktu itu tidak ada kendaraan untuk mengantar kami ke kota tua, akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju terminal bis blok m sehingga kami dapat naik busway dari terminal bis tersebut menuju kota tua. Pada saat itu kami belum memutuskan museum mana yang akan kami pilih. Perjalanan dari blok m menuju kota tua tidak lancar seperti yang kami bayangkan, kami terkena macet di sekitar daerah sudirman sehingga perjalanan kami menuju kota tua memakan waktu hingga satu setengah jam. Sesampainya disana kami pertama-tama mencoba untuk mengunjungi museum wayang. Tetapi setelah melihat koleksi-koleksi yang terdapat pada museum tersebut, kami merasa kurang tertarik pada koleksi tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi museum fatahillah.

Museum Fatahillah
Museum Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi. Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah. Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya Barok klasik dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin. Museum ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
Perbendaharaan koleksi museum fatahillah mencapai jumlah 23.500 buah berasal dari warisan Museum Jakarta Lama (Oud Batavia Museum), hasil upaya pengadaan Pemerintah DKI Jakarta dan sumbangan perorangan maupun institusi. Terdiri atas ragam bahan material baik yang sejenis maupun campuran, meliputi logam, batu, kayu, kaca, kristal, gerabah, keramik, porselen, kain, kulit, kertas dan tulang. Di antara koleksi yang patut diketahui masyarakat adalam Meriam si Jagur, sketsel, patung Hermes, pedang eksekusi, lemari arsip, lukisan Gubernur Jendral VOC Hindia Belanda tahun 1602-1942, meja bulat berdiameter 2,25 meter tanpa sambungan, peralatan masyarakat prasejarah, prasasti dan senjata.
Koleksi yang dipamerkan berjumlah lebih dari 500 buah, yang lainnya disimpan di storage (ruang penyimpanan). Umur koleksi ada yang mencapai lebih 1.500 tahun khususnya koleksi peralatan hidup masyarakat prasejarah seperti kapak batu, beliung persegi, kendi gerabah. Koleksi warisan Museum Jakarta Lama berasal dari abad ke-18 dan 19 seperti kursi, meja, lemari arsip, tempat tidur dan senjata. Secara berkala dilakukan rotasi sehingga semua koleksi dapat dinikmati pengunjung.
Objek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.
Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Selain itu, di Museum Fatahillah juga terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulu sempat digunakan pada zaman penjajahan Belanda.
 Di museum Fatahillah kami menemukan banyak artefak-artefak peninggalan yang dapat digunakan sebagai bahan untuk menuntaskan tugas sejarah ke-3 kami, diantara banyak artefak yang ada, saya memilih artefak berikut:

Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan di pinggir sungai Ciaruteun, kecamatan Cibungbulang, dekat muaranya di sungai cisadane, Kabupaten Bogor tepatnya pada koordinat 0°7’2,76” BB (dari Jakarta) dan 6°38’09”. Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit oleh tiga sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta CiampĂ©a (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang).
Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Weten-schappen (sekarang Museum Nasional) pada tahun 1863. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula. Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir. Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu alam yaitu batu andesit.
Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari empat baris yang masing-masing terdiri dari delapan suku kata dan pada bagian bawah tulisan terdapat pahatan gambar umbi dan sulur-suluran (pilin). Prasasti ciaruteun merupakan bukti arkeologis tentang keberadaan kerajaan tarumanagara di Jawa Barat
Tulisan yang terdapat pada Prasasti Ciaruteun adalah sebagai berikut:
vikkrantasyavanipateh
crimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
vishnoriva padadvayam
Terjemahan dari tulisan yang terdapat pada prasasti tersebut menurut Prof. Vogel adalah sebagai berikut:
“Kedua jejak telapak kaki yang seperti jejak kaki wisnu ini kepunyaan penguasa dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman raja Tarumanagara”.
Dari keterangan Prasasti Ciaruteun tersebut, telah didapat sebuah keterangan yang menjelaskan tentang keberadaan Purnawarman sebagai seorang raja Tarumanagara, yang menganut agama Hindu aliran waisnawa. Akan tetapi keberadaan prasasti Ciaruten tersebut kita masih belum bisa menemukan keberadaan keraton Kerajaan Tarumanagara dibawah kepeminpinan Raja Purnawarman.
Selain tulisan, dalam prasasti Ciaruteun terdapat juga lukisan yang berbentuk ikal dan sepasang tanda mirip gambar laba-laba atau matahari. Lukisan telapak kaki dianggap sebagai lambang langkah raja Purnawarman ke surga yang dipersamakan dengan perjalanan matahari, dari mulai terbit, kemudian mencapai titik tertinggi, terbenam, sampai akhirnya terbit kembali.
Penafsiran lain tentang keberadaan gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun dapat diartikan sebagai:
1. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
2. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat

  
Kapal Portugis “Nau Redonda”
Setelah pertengahan abad 16, jenis-jenis kapal portugis “nau” dan “caravela” dengan kapasitas kecil tidak digunakan lagi terutama sejak perdagangan jarak jauh mengangkut rempah-rempah dari belahan timur dan dijual di Eropa Utara dimulai. Armada-armada kapal menuju timur dilakukan pada bulan Maret. Satu perjalanan pulang-pergi memakan waktu 18 bulan. Kapal “nau redonda” (nau bundar) yang melakukan pelayaran jarak jauh ini mempunyai palka besar berbentuk bundar, dek luar, dan kapasitas lebih dari 300 ton. Dua jenis layar digunakan untuk menangkap angin sebanyak-banyaknya, dengan demikian kapal dapat berlayar lebih cepat. Pembaruan teknis pada kapan ini adalah ditambahnya satu tiang di haluan (tiang depan) dengan layar depan dan layar depan bawah. Layar depan ini memperlihatkan tanda salib. Jenis kapal ini membawa pedagang Portugis ke (Sunda) Kalapa.



 
Penyekat Ruangan VOC
Penyekat ruangan ini diukir dengan indah dan pernah digunakan dalam ruang siding dewan Hindia di Benteng (Kasteel) Batavia. Pada bagian atas, dibawah mahkota terdapat enam lambang kota yang membentuk VOC (Verenigde Oostindische Compagne), pada bagian tengahnya terdapat lambang Kota Batavia (pedang dengan ujungnya menembus lingkaran daun salam)
Figur pada bagian tengah menggambarkan seorang pria muda memakai  baju zirah dengan kaki yang sedikit pendek. Dia membawa perisai dengan hiasan kepala medusa yang berambut ular setelah dikutuk oleh Pallas Athena, Dewi Kebijaksanaan dan Kesenian. Menurut mitos Yunani, Pallas Athena adalah putri Dewa Zeus, lahir dengan memakai baju zirah




0 comments:

Post a Comment

 

Design modified by mugimunteng | Basic Design by Dzignine in Collaboration with Trucks, SUV, Kidney Stones