otakatikawas!

otakatikawas!

Tugas 2, Saya dan Saksi Sejarah

|
Saya mendapat tugas dari pelajaran sejarah untuk membuat biografi tentang seorang saksi sejarah. Karena kakek dan nenek dari ibu saya keduanya sudah meninggal dunia begitu juga dengan kakek dari ayah saya, sedangkan nenek dari ayah saya tinggal di Surabaya dan cukup sulit untuk menghubunginya, akhirnya tokoh yang saya pilih untuk tugas ini adalah ibu saya sendiri.
              
  
Pada tanggal 29 Mei 1966, ibu saya yang bernama Dian Budiani dilahirkan dari pasangan suami istri Sutardi Winoto dan Hartilah. Dian lahir di Bandung. Beliau merupakan anak terakhir dari 6 bersaudara. Ibu saya pertama kali mendapatkan pendidikan di Taman Kanak-kanak Santa Anna di Surabaya. Beliau melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di Santa Anna sampai dengan kelas 2 SD. Kakek saya sering dinas ke berbagai daerah yang berbeda, sehingga ibu saya harus pindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Kelas 3 SD, ibu saya pindah ke Surabaya dan melanjutkan di SD Maria Fatima sampai dengan kelas 5 SD. Tahun berikutnya beliau pindah ke SD Tarakanita. Untuk pendidikan Sekolah Menengah Pertama, ibu saya bersekolah di SMP Stella Duce di Yogya selama satu tahun. Untuk kelas 2 dan 3 SMP, beliau pindah ke Semarang karena kakek saya harus pindah kesana, di SMP Maria Goretti. Selanjutnya ibu saya melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di Semarang tepatnya di SMA Loyola. Semua pendidikan yang ditempuh oleh ibu saya adalah sekolah Kristen yang keras dan sangat disiplin dalam mendidik muridnya, dimana mendapatkan nilai yang bagus adalah hal yang sulit. Selanjutnya ibu saya meneruskan pendidikan kuliahnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, selama satu tahun. Pada tahun berikutnya beliau meneruskan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia selama 6 tahun ke depan, dan lulus dengan gelar dokter umum pada tahun 1991. Di masa kuliah ini jugalah ibu saya bertemu dengan ayah saya yang juga mahasiswa kedokteran UI, kemudian menikah pada tanggal 23 Februari 1992. Awalnya ibu saya ingin meneruskan pendidikannya untuk menjadi dokter spesialis, terutama dokter saraf atau dokter kandungan karena ibu saya sangat menyukai ilmu itu, namun karena ayah saya juga akan meneruskan untuk menjadi dokter spesialis ibu saya berpikir bahwa mereka berdua akan sangat sibuk dan kewalahan mengurus saya dan adik-adik saya. Setelah lulus kuliah, ibu saya bekerja di Klinik Siaga, Jakarta Selatan selama 1 tahun. Setelah itu beliau pindah bersama ayah saya untuk bekerja di Puskesmas Kecamatan Muara Bengkal, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur selama 3 tahun sebagai Pegawai Tidak Tetap Departemen Kesehatan. Dulu hal ini adalah sebuah kewajiban untuk dokter yang baru lulus untuk harus bekerja selama beberapa tahun di daerah, menurut peraturan Departemen Kesehatan saat itu. Pada tahun 1994 tepatnya tanggal 31 Oktober 1994, saya lahir di Surabaya dan sempat juga tinggal di Kalimantan ini selama satu tahun. Setelah menyelesaikan tugas di Kalimantan, ibu saya bekerja sebagai konsultan untuk perusahaan asuransi kesehatan selama 4 tahun. Pada tahun-tahun ini ayah saya melanjutkan kuliahnya di Bandung untuk mencapai gelar dokter spesialis, sehingga ibu saya harus mengurus saya sendirian di Jakarta selama kurang lebih 2-3 tahun. Kemudian beliau bekerja di PT Prudential Life Assurance selama 12 tahun sampai sekarang ini. Berikut ini adalah beberapa peristiwa dan perubahan sejarah yang terjadi dan terkenang oleh ibu saya:               

1978
Pada tahun 1978 ini ibu saya berumur 12 tahun dan duduk di bangku SMP. Pada tahun ini, ibu saya dan teman-temannya mengalami perubahan tahun ajaran yang diberlakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Saat itu tahun ajaran yang berlaku adalah dari Januari-Desember, namun tiba-tiba dilakukan perubahan, yaitu tahun ajaran baru dari bulan Juli sampai bulan Juli berikutnya. Karena hal yang mendadak ini, ibu saya dan teman-temannya kehilangan waktu dan rugi 6 bulan karena tidak melakukan apa-apa, yang seharusnya sudah naik kelas 2 namun harus menunggu lagi karena naik kelasnya ditunda. Hal yang mendadak ini juga ditambah dengan tidak adanya penjelasan dari Depdiknas tentang alasan kenapa harus diberlakukannya tahun ajaran baru ini. Semua sekolah diberlakukan secara serentak, dan tahun ajaran ini pun kemudian dipakai hingga saat ini.

1981
Pada tahun 1981 ini, ibu saya sedang duduk di bangku SMA. Pada periode ini di Indonesia khususnya Semarang tempat ibu saya tinggal saat itu, muncul-lah rasa permusuhan antara kalangan pribumi dengan kalangan Cina. Awalnya semua itu hanya dalam konteks yang masih sederhana dan tidak mengganggu, namun lama kelamaan berkembang menjadi kekerasan. Orang-orang Cina tidak berani pergi dan keluar rumah. Karena kebetulan ibu saya tinggal di kompleks yang banyak penghuni Cina-nya, kompleks rumahnya pun jadi sepi karena orang-orang itu sampai mengungsi dan pindah ke tempat lain. Di Semarang, kondisi ekonominya dikendalikan dan cukup dipengaruhi oleh pengusaha Cina, jadi jalanan tempat pusat usaha juga sepi. Jika ada orang Cina yang berani membuka toko maka akan dilempari batu oleh warga setempat. Kebetulan ibu saya memiliki mata yang kecil dan kulit yang putih, begitu juga dengan nenek dan adik nenek saya, sehingga mereka pun ikut merasakan kewas-was-an pergi keluar rumah karena takut dianggap orang Cina dan ikut diserang oleh warga.

1997
Pada tahun 1997-1998 terjadi sebuah kerusuhan yang berawal dari peristiwa krisis moneter di Indonesia, khususnya Jakarta. KRISIS moneter Indonesia disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengambangkan mata uang Thailand “Bath” terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari Bath ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang negara ASEAN lainnya dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini, termasuk Indonesia. Pada bulan September/Oktober 1997, nilai mata uang rupiah terhadap dollar sudah turun sebesar 30% sejak bulan Juli 1997. 1 tahun kemudian pada bulan Juli 1998, nilai rupiah kembali turun sekitar 90%, diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya. Di tengah krisis ekonomi yang parah itu, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dengan Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter. Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki. Sebelas menteri bidang ekonomi dan industri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri. Dampak krisis moneter ini juga terjadi pada ribuan mahasiswa yang menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisaksi, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Puncaknya sore hari adalah saat terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti. 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa kembali mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir dengan mundurnya Presiden Soeharto, tepat 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, pada tanggal 21 Mei 1998.
Ibu saya yang saat itu bekerja menjadi konsultan di perusahaan asuransi juga merasakan dampaknya. Karena nilai tukar yang rendah, banyak perusahaan yang tidak sanggup untuk membayar orang asing yang bekerja di perusahaan mereka. Akibatnya nasabah-nasabah asing berkurang drastis dan cukup menyebabkan kerugian. Kemudian pada periode ini juga tidak mungkin untuk membeli barang-barang import karena sangat mahal. Selain itu para pengusaha tingkat menengah, salah satunya adalah kakek saya yang mempunyai usaha toko di rumahnya, juga mengalami kesulitan menjual barang yang makin mahal. Pada tahun 1997 ini ibu saya juga melahirkan adik laki-laki saya, Emil. Krisis moneter ini membuat ibu saya sangat sulit mencari susu untuk adik saya  karena sangat jarang dijual, bahkan di supermarket besar seperti Hero tidak ada. Karena jarang dijual tentu saja harganya sangat mahal. Karena itu ibu saya harus titip kepada ayah saya yang sedang kuliah di Bandung untuk membeli susu, karena di Bandung susu masih cukup mudah untuk ditemukan dan dijual dimana-mana.

2004
Pada tahun ini, ibu saya sedang bekerja di Prudential, sebuah perusahaan asuransi. Pada periode ini, hukum tentang kepailitan di Indonesia masih belum jelas. Jadi jika ada sebuah perusahaan yang berhutang kepada sebuah pihak tertentu, maka pihak ini dapat menuntut perusahaan ini apabila hutangnya tidak dilunasi sesuai tanggal yang ditetapkan, walaupun kekayaan perusahaan ini sendiri jauh lebih besar dibandingkan hutang yang ia miliki. Di Prudential itu, ada sebuah pihak yang merasa bahwa Prudential telah melewati batas tanggal pelunasan hutang, lalu pihak itu menuntut agar Prudential dipailitkan atau tutup dan berhenti beroperasi. Prudential akhirnya tutup selama kurang lebih satu minggu sambil mengupayakan penyelesaian melalui jalur hukum. Penyelesaian peristiwa ini cukup memakan waktu sampai akhirnya Prudential memenangkan perkara ini, dan pihak tersebut dilunasi hutangnya. Sejak saat itu, satu tahun berikutnya hukum kepailitan di Indonesia mengalami revisi sehingga tidak semudah itu sebuah pihak dapat menuntut perusahaan tertentu, namun juga harus diperhatikan perbandingan antara kekayaan perusahaan dengan hutang yang ada. 

0 comments:

Post a Comment

 

Design modified by mugimunteng | Basic Design by Dzignine in Collaboration with Trucks, SUV, Kidney Stones