otakatikawas!

otakatikawas!

EKA DAN ARTEFAK

|
Pada suatu Jumat, setelah menunda banyak waktu akhirnya saya dan beberapa teman sekelas pergi ke Museum Nasional untuk menyelesaikan tugas sejarah. Sesampainya disana, ternyata Museum Nasional yang bisa juga disebut Museum Gajah terlah terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu gedung lama dan gedung baru. Sayangnya saat kami berkunjung museum tersebut sedang mati lampu. Namun saya dan yang lainnya tetap berkeliling melihat-lihat dan berfoto bersama artefak.
Artefak pertama adalah prasasti tugu. Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumbuh, desa Tugu, tepatnya pada koordinat 0°06’34,05” BT (dari Jakarta) dan 6°07’45,40”LS yang sekarang menjadi wilayah kelurahan Tugu selatan, kecamatan Koja, Jakarta Utara. Pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille Prasasti Tugu batu dipindahkan ke Museum Bataviaasch genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) serta didaftar dengan nomor inventaris D.124. Prasasti Tugu dipahatkan pada batu berbentuk bulat telur berukuran ± 1m. Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan kepada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama.
Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara lainnya, Prasasti Tugu merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga.
Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yag pada ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.
Kemudian saya melihat artefak berupa tengkorak di dalam sebuah kotak. Rupanya artefak itu adalah Kubur Batu Gilimanuk. Rangka manusia prasejarah ini dikuburkan dengan system penguburan langsung (primary burial). Di sisi rangka terdapat senjata tajam dari logam berbentuk seperti parang atau mata tombak. Mungkin alat kerja sehari-hari atau benda kesayangan milik rangka ketika masa hidupnya.
Kemudian saya juga perfoto dengan patung berukuran paling besar yang saya lihat di jejeran patung-patung lainnya. Patung ini adalah arca yang merupakan perwujudan raja Adityawarman yang memerintah di Malayu pada tahun 1347-1375. Adityawarman merupakan pelanjut dari Dinasti Mauli penguasa pada Kerajaan Melayu yang sebelumnya beribukota di Dharmasraya, dan dari manuskrip pengukuhannya ia menjadi penguasa di Malayapura atau Kanakamedini pada tahun 1347 dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa, dan dikemudian hari ibukota dari kerajaan ini pindah ke daerah pedalaman (Minang). Berdasarkan Prasasti Kuburajo, Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman. Sedangkan dari Prasasti Bukit Gombak dikatakan bahwa Adityawarman adalah putra dari Adwayadwaja. Nama ayahnya ini mirip dengan nama salah seorang pejabat penting Kerajaan Singhasari(Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrahma) yang pada tahun 1286 mengantar Arca Amoghapasa untuk dipahatkan di Dharmasraya sebagai hadiah dari Kertanagara raja Singhasari kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu.
Adityawarman dalam Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama disebut dengan nama Tuhan Janaka yang bergelar Mantrolot Warmadewa. Ibunya bernama Dara Jingga putri Kerajaan Melayu di Dharmasraya. Dara Jingga bersama adiknya Dara Petak ikut bersama tim ekspedisi Pamalayu yang kembali ke Jawa pada tahun 1293. Ahli waris Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai permaisuri dan bahwa Dara Jingga sira alaki dewa, yaitu bersuamikan kepada seorang “dewa” (bangsawan).
Pendapat lain mengatakan bahwa Adityawarman juga merupakan anak dari Raden Wijaya, yang berarti Raden Wijaya bukan hanya memperistri Dara Petak melainkan juga Dara Jingga. Penafsiran ini mungkin karena dalam Nagarakretagama disebutkan Raden Wijaya telah memperistri ke-empat putri Kertanagara.
Muhammad Yamin berpendapat bahwa Adityawarman lahir di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat sekarang). Ketika muda ia berangkat pergi ke Majapahit, karena ayah atau ibunya mempunyai perhubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit pertama, Kertarajasa Jayawardana. Adityawarman dianggap saudara dari Raja Jayanegara yang tidak memiliki putra. Oleh karena itu, menurut adat Adityawarmanlah yang paling dekat untuk pengganti mahkota.
Menurut sebagian sejarahwan Adityawarman dilahirkan dan dibesarkan di Majapahit pada masa pemerintahan Raden Wijaya (1294–1309). Menurut Pararaton, raja kedua Majapahit, yaitu Jayanagara, adalah putra Raden Wijaya yang lahir dari Dara Petak. Dengan demikian, hubungan antara Adityawarman dengan Jayanagara adalah saudara sepupu sesama cucu raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya. Dari versi lain, mereka disebutkan juga saudara seayah sesama anak Raden Wijaya alias Kertarajasa Jayawardana.
Dengan hubungan kekeluargaan yang begitu dekat, maka ketika Jayanagara menjadi raja, Adityawarman dikirim sebagai duta besar Majapahit untuk Cina selama dua kali yaitu pada tahun 1325 dan 1332. Dalam kronik Dinasti Yuan ia disebut dengan nama Sengk'ia-lie-yu-lan. Pengiriman utusan ini menunjukkan adanya usaha perdamaian antara Majapahit dengan bangsa Mongol, setelah terjadinya perselisihan dan peperangan pada masa Singhasari dan zaman Raden Wijaya.
Pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (adik Jayanagara), Adityawarman diangkat sebagai Wreddhamantri, atau perdana menteri. Hal ini tersebut pada Prasasti Manjusri tahun 1343 yang menyatakan bahwa, Adityawarman selaku wreddhamantri menempatkan arca Mañjuçrī (salah satu sosok bodhisattva) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha (Candi Jago) di bhumi jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya. Dan sebelumnya namanya juga tercatat dalam prasasti Blitar yang bertarikh 1330 sebagai Sang Arya Dewaraja Mpu Aditya. Dari Piagam Bendasari terdapat istilah tanda rakryan makabehan yang menyatakan urutan jabatan di Majapahit setelah raja, dimana disebutkan secara berurutan dimulai dengan dengan jabatan wreddamantri sang aryya dewaraja empu Aditya, sang aryya dhiraraja empu Narayana, rake mapatih ring Majapahit empu Gajah Mada, dan seterusnya. Jadi dengan demikian jelas terlihat kedudukan Adityawarman begitu sangat tinggi di Majapahit melebihi kedudukan dari Gajah Mada pada waktu itu.
Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera dan selanjutnya, Adityawarman pun menjalankan beberapa misi penaklukkan. Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, belum ada satu pun yang menyebutkan hubungannya dengan bhumi jawa.
Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman mendirikan kerajaan baru bernama Malayapura sebagai kelanjutan kerajaan Melayu sebelumnya, sebagaimana seperti yang terpahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa. Dari prasasti Kuburajo di Limo Kaum yang beraksara sansekerta juga menyebutkan bahwa Adityawarman menjadi raja di Kanakamedini (Swarnnadwipa).
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi, yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan darimamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut. Selain itu juga terlihat kepedulian Adityawarman untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakatnya dengan tidak bergantung kepada hasil hutan dan tambang saja.
Ada pendapat yang mengatakan kenapa Adityawarman tidak bertahta di Dharmasraya karena dia tidak memiliki hak atas kerajaan Dharmasraya tidak dapat dibuktikan, karena dari sisi ibunya Dara Jingga adalah salah seorang putri dari Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu sebagaimana yang disebut pada Pararaton, dan lagi pula dari manuskrip pada bagian belakang Arca Amoghapasa, Adityawarman jelas menyatakan dirinya sebagai raja dari bangsa Mauli serta memulihkan keadaan sebelumnya, Arca Amoghapasa ini sebelumnya merupakan hadiah dari Kertanagara dan ditempatkan di Dharmasraya, sebagaimana tersebut dalam prasasti Padang Roco.
Kemungkinan yang menyebabkan Adityawarman untuk memindahkan pusat kerajaannya lebih ke dalam yaitu daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso) adalah sebagai salah satu strategi untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kerajaan Majapahit, yang pada masa itu lagi gencarnya melakukan penaklukan perluasan wilayah dibawah Mahapatih Gajah Mada, karena dari gelar yang disandang oleh Adityawarman jelas menunjukan kesetaraan gelar dengan gelar raja di Majapahit, sehingga hal ini dapat menunjukan bahwa Adityawarman memang melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Majapahit. Namun ada juga pendapat lain berasumsi bahwa Adityawarman pindah ke daerah pedalaman untuk dapat langsung mengontrol sumber emas yang terdapat pada kawasan Bukit Barisan tersebut.




Walaupun memerintah dari kawasan pedalaman namun hubungan perdagangan dengan pihak luar tetap terjaga, hal ini terlihat dari catatan Cina yang menyebutkan, Adityawarman pernah mengirimkan utusan sebanyak 6 kali. Selain itu salah satu dari prasasti yang ditemukan di Suruaso juga terdapat prasasti yang beraksara Nagari (Tamil), jadi pengaruh India selatan pun telah sampai ke ranah Minang.
Setelah Adityawarman meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama Ananggawarman, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Batusangkar yang bertarikh 1375, yang menyebutkan Adiytawarman dan putranya Ananggawarman melakukan upacara hewajra, dalam ritual tersebut Adityawarman diibaratkan telah menuju kepada tingkat ksetrajna.
Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit waktu itu membiarkan saja pemberontakan tersebut, namun begitu Wikramawardhana naik tahta sebagai penganti Hayam Wuruk, mulai mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut pada tahun 1409 dan 1411, pertempuran kedua pasukan terjadi di Padang Sibusuk, (hulu sungai Batang Hari), dimana kedua-dua serangan pasukan kerajayaan Majapahit dapat dipukul mundur. Namun akibat dari serangan tersebut, pengaruh kerajaan ini terhadap daerah jajahannya melemah, dimana daerah-daerah jajahan seperti Siak, Kampar dan Indragiri melepaskan diri dan kemudian daerah-daerah ini ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh, dan kemudian hari menjadi negara-negara merdeka.

0 comments:

Post a Comment

 

Design modified by mugimunteng | Basic Design by Dzignine in Collaboration with Trucks, SUV, Kidney Stones