otakatikawas!

otakatikawas!

Tugas-2, Saya dan Tokoh Sejarah: Edi Sumono

|
Oleh: Astari Nandhiasa


Proses Mendapatkan Tokoh dan Kesulitan Menghimpun Inforrmasi

Saat pertama diumumkan adanya tugas mewawancarai tokoh sejarah, saya tidak mempunyai ide sama sekali siapa yang harus diwawancarai. Awalnya saya berencana melakukan wawancara dengan Shigetada Nishijima, anak buah Laksamana Tadashi Maeda yang merupakan satu – satunya saksi hidup perumusan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Dari nama beliau, dapat ditebak bahwa Shigetada Nishijima adalah orang Jepang. Kini beliau tinggal di Tokyo bersama istrinya. Sempat terpikirkan untuk melakukan wawancara lewat e-mail, namun sayangnya Pak Nishijima tidak memiliki alamat e-mail. Dengan demikian satu alternatif tokoh sejarah sudah hilang.


Kemudian saya ingat, kakek saya dari pihak ibu dulunya adalah pendeta Angkatan Darat. Beliau juga sudah meninggal, tapi Nenek saya masih hidup. Mungkin saja Nenek tahu salah satu cerita dari masa saat Kakek saya masih aktif di Angkatan Darat. Tapi apa boleh buat, karena faktor umur (Nenek saya sudah berusia lebih dari 80 tahun) tidak ada cerita peristiwa yang beliau ingat dengan jelas.

Lagi-lagi saya harus mencari tokoh lain. Dengan bantuan ibu saya, saya mendapatkan satu nama yang memungkinkan untuk tugas ini. Beliau adalah Ibu Yohana, atau yang lebih dikenal dengan Ibu Ari, putri dari Kapten Infantri Angkatan Darat (Purn) Edi Sumono. Kapten Edi Sumono adalah kenalan Kakek saya saat di Angkatan Darat. Sama seperti Kakek saya, Kapten Edi juga sudah meninggal. Karena itu saya hanya bisa mewawancarai putrinya, Ibu Yohana.

Sudah lebih dari lima tahun ini Ibu Yohana berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mau tidak mau, saya harus melakukan perjalanan ke Yogyakarta untuk menghimpun informasi tentang kehidupan Kapten Edi dan peranannya sebagai saksi dalam peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. Setelah membuat janji temu dengan Ibu Yohana, akhirnya pada tanggal 23 April 2011 saya bisa bertemu dengan beliau.



Dengan Ibu Yohana sebagai narasumber, banyak informasi tentang Kapten Edi yang bisa saya dapatkan. Bahkan suami Ibu Yohana, Pak Ari, ikut menceritakan peristiwa Tanjung Priok 1948 di mana Kapten Edi ikut terlibat. Sayangnya masih banyak informasi vital tentang Kapten Edi yang tidak diceritakan pada saya. Bukan karena Ibu Yohana menganggapnya sebagai privasi yang tidak boleh diusik, tapi karena Ibu Yohana memang tidak ingat (atau tidak tahu).

Saya tidak mungkin mencari tokoh lain hanya karena informasi tentang Kapten Edi kurang. Saya sudah tidak punya waktu lagi. Apalagi kalau orang yang harus saya wawancarai juga tinggal di luar kota seperti Ibu Yohana. Kalau harus ke Yogyakarta masih bisa ditoleransi. Setidaknya Jakarta dan Yogyakarta ada di satu pulau. Tapi bagaimana kalau saya harus ke luar pulau seperti Sumatra atau Kalimantan? Saya tidak mau kalau harus begitu. Dan memang mustahil untuk dilakukan karena keterbatasan waktu dan dana.

Akhirnya Ibu Yohana mengusulkan agar saya bertanya kepada ibu dari Ibu Yohana atau dengan kata lain istri Kapten Edi, Ibu Yosina. Atau saya bisa juga mewawancarai adik Ibu Yohana, yaitu Ibu Vera. Namun Ibu Vera berbeda ayah dari Ibu Yohana. Karena itu beliau tidak begitu mengenal kapten Edi. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah mewawancarai Ibu Yosina.



Saat itu saya lega mendengar usul tersebut. Namun kendala lain muncul: saya tidak mempunyai cukup waktu untuk mewawancarai Ibu Yosina. Pertemuan dengan Ibu Yohana itu saya lakukan pada Sabtu sore. Dan pada malam harinya saya harus kembali ke Jakarta. Tidak mungkin saya tetap di Yogyakarta sampai esoknya karena pada hari Minggu saya ada acara di Jakarta. Lalu saya pun meminta izin pada Ibu Yohana agar saya boleh mewawancarai Ibu Yosina lewat telefon. Ibu Yohana mengizinkan dan memberikan nomor telefon rumah Ibu Yosina kepada saya.



Biografi Kapten Infantri Angkatan Darat (Purn) Edi Sumono

Kapten Edi lahir di Kediri, suatu kota yang terletak di Jawa Timur. Pada tanggal 8 Maret di tahun 1938, beliau terlahir dengan nama lengkap Edi Sumono. Kehidupan Kapten Edi di masa kecil dan remaja, termasuk masa-masa sekolah beliau tidak deiketahui. Hal ini dikarenakan Ibu Yosina, istri Kapten Edi, belum mengenal beliau saat itu. Mereka berkenalan setelah Kapten Edi lulus dari Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah.

AMN adalah kelanjutan dari Akademi Militer Yogyakarta. AMN diresmikan pada 11 November 1957, tahun yang sama dengan tahun Kapten Edi memulai pendidikan di AMN. Saat itu beliau genap berusia 19 tahun dan sudah lulus dari SMA. Walaupun Kapten Edi adalah angkatan pertama di AMN, namun beliau dan angkatannya dinyatakan sebagai taruna Akademi Militer angkatan ke-4. Beliau lulus setelah 4 tahun menempuh pendidikan di AMN. Semua taruna yang lulus mendapatkan gelar Sarjana Pertahanan.

”Setelah itulah saya dan Pak Edi saling kenal. Kami dikenalkan oleh teman Pak Edi yang juga teman saya di gereja,” ujar Ibu Yosina. Saat itu Ibu Yosina dan Kapten Edi hanya berteman. Belum ada hubungan spesial di antara mereka, apalagi setahun setelah itu Kapten Edi ditugaskan di Purworejo, Jawa Tengah.

Namun hubungan pertemanan antara Ibu Yosina dan Kapten Edi tetap berlanjut. Mereka rajin berkirim surat hingga akhirnya bunga-bunga cinta tumbuh di hati keduanya. Dengan cepat mereka menjadikan hubungan mereka ke tingkat yang lebih serius. Keinginan untuk menikah pun tidak dapat dihindari. Namun mereka terhalang peraturan yang menyatakan bahwa selama masa pendidikan, taruna tidak diperkenankan untuk menikah sampai yang bersangkutan telah 2 tahun menjalani ikatan dinas selepas dilantik menjadi letnan dua.Pada tahun 1965, akhirnya Ibu Yosina dan Kapten Edi meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.

“Kami menikah pada 27 September. Pernikahannya sederhana saja, yang penting keluarga datang. Setelah pemberkatan di gereja dan pernikahannya dicatat di Catatan Sipil, kami melakukan resepsi pernikahan yang sederhana. Semuanya dilakukan di Yogyakarta. Setelah itu saya ikut Bapak (Pak Edi, red.) pindah ke Purworejo. Saya senang bisa menemani Bapak bertugas,” kata Ibu Yosina.

Dua tahun setelahnya, pasangan berbahagia itu dikarunia seorang anak, tak lain dan tak bukan adalah Ibu Yohana. Pada tahun 1975, Kapten Edi kembali dipindah tugaskan ke Jakarta, tepatnya beliau bertugas di Angkatan Darat Kodim Cililitan. Inilah tempat tugas terakhir Kapten Edi. Di sana pula beliau memperoleh gelar Kapten Angkatan Darat.

Kapten Edi meninggal pada tahun 1979. Beliau meninggal bukan karena pertempuran atau pun hal-hal yang berkaitan dengan militer. Tapi beliau meninggal karena sakit kanker hati. Sebelum meninggal, beliau ikut terlibat dalam Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa inilah yang akan saya ceritakan berdasarkan data-data yang saya dapat baik dari Ibu Yohana, Pak Ari, maupun Ibu Yosina.


Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok terjadi karena adanya demonstrasi oleh organisasi masyarakat Islam garis keras. Mereka menginginkan didirikannya Negara Indonesia dengan ideologi agama Islam. Mungkin inilah yang menjadi cikal bakal munculnya Negara Islam Indonesia (NII) yang marak saat ini. Ada atau tidak adanya hubungan di antara keduanya, saya tidak tahu. Tapi yang pasti keduanya memiliki kesamaan yang signifikan, yaitu mengubah Negara Indonesia menjadi suatu negara Islam.

Ide ini ditentang keras oleh presiden pada masa itu, yaitu Presiden Soeharto. Beliau menolak mentah-mentah usulan pengubahan ideologi Indonesia. Untuk meredam demonstrasi besar-besaran yang terjadi, Presiden Soeharto menurunkan personil Angkatan Darat dalam jumlah yang besar pula. Di antaranya terdapat Kapten Edi. Tentara-tentara Angkatan Darat tersebut berada di bawah pimpinan L.B. Murdani.




Di sinilah saya menemukan keganjilan. Berdasarkan semua sumber yang saya temukan di internet, Peristiwa Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984. Sementara Kapten Edi sendiri meninggal pada tahun 1979.

Bagaimana mungkin peristiwa tersebut terjadi setelah Kapten Edi meninggal? Padahal Kapten Edi jelas-jelas termasuk dalam jajaran tentara yang terlibat langsung dalam Peristiwa Tanjung Priok.

Menurut saya ada dua kemungkinan mengapa terjadi perbedaan tahun kejadian yang sangat mencolok:
1. Mungkin saja narasumber saya (Ibu Yosina dan Pak Ari) dua-duanya salah
mengingat tahun wafatnya Kapten Edi,
2. Bisa saja pemerintah sengaja mengganti tanggal Peristiwa Tanjung Priok untuk
mengaburkan sejarah.

Untuk poin yang pertama, kemungkinan narasumber saya salah menyebutkan tahun bisa saja terjadi. Sebagaimana yang kita ketahui, manusia memiliki batasan dalam ingatan. Karena itu dapat dimaklumi bahwa tahun yang disebutkan pada saya ada yang salah.

Untuk poin kedua, mengapa saya bisa berasumsi adanya pengubahan tanggal Peristiwa Tanjung Priok oleh pemerintah? Menurut apa yang diceritakan Kapten Edi pada istri dan anak-anaknya, dalam kejadian tersebut terjadi pembantaian besar-besaran.


Banyak sekali warga sipil yang meninggal karena ditembak oleh Angkatan Darat. Perintah itu diberikan oleh L.B. Murdani. Tapi siapa yang memberikan izin menembak demonstran pada L.B. Murdani? Sayangnya narasumber saya tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan ini.

Korban tewas dari peristiwa ini mencapai jumlah yang relatif banyak. Saya tidak tahu jumlah pastinya, tetapi menurut apa yang diceritakan pada saya, jumlah korban tewas lebih dari 50 orang. Angka ini belum termasuk jumlah orang yang hilang, yang bahkan jumlahnya lebih banyak dari yang tewas. Oleh pemerintah peristiwa ini tidak diekspos ke masyarakat luas.

Kapten Edi secara pasti ikut dalam barisan tentara Angkatan Darat yang meredam demonstrasi, beliau juga saat itu berada di bawah pimpinan L.B. Murdani. Peristiwa Tanjung Priok berdasarkan Komnas HAM juga memiliki data yang serupa. Lalu mengapa tanggal yang tertera jauh berbeda?

Menurut cerita Kapten Edi, Peristiwa Tanjung Priok membawa perubahan yang sangat besar bagi warga yang terlibat. Banyak keluarga yang sanak saudaranya meninggal, banyak pula yang setiap hari berurusan dengan aparat karena mencari anggota keluarganya yang menghilang. Ya, bila ada yang ketahuan mencari anggota keluarga yang hilang, maka orang itu harus berurusan dengan aparat.

Hingga akhir hayat Kapten Edi, masih banyak orang yang hilang karena Peristiwa Tanjung Priok. Malah menurut beliau jumlahnya justru makin bertambah. Karena peristiwa itu, selama beberapa lama Tanjung Priok menjadi area dengan suasana mencekam. Bagi Kapten Edi selaku saksi sejarah, kejadian tersebut adalah mimpi buruk bukan hanya baginya, tapi juga bagi rekan-rekannya, para demonstran, dan keluarga korban.



1 comments:

{ Moh. Shobirienur Rasyid } at: May 8, 2011 at 11:18 PM said...

Cerita tentang Peristiwa Tanjungpriok mungkin masih belum jelas. Tapi saya ingat, itu terjadi pada tahun 1984, ketika saya harus berjalan kaki dari Rawanangun di Jakarta Timur ke Kalibaru di Jakarta Selatan melewati Koja, tempat terjadinya peristiwa.
Mungkin ada yang lain yang dapat menambahi cerita, sehingga menjadi lebih terang kejadiannya....

ms rasyid
http://wanakajir.wordpress.com

Post a Comment

 

Design modified by mugimunteng | Basic Design by Dzignine in Collaboration with Trucks, SUV, Kidney Stones