otakatikawas!

otakatikawas!

TUGAS-2: Saya dan Bapak Slamet Soeyono, Kakek Sekaligus Seorang Tokoh Sejarah Nasional

|
Nama  : Inas Raras Maheningtyas
Kelas   : XI IPA 1

Dalam rangka pemenuhan tugas ke-2 sejarah, saya melakukan wawancara untuk kedua kalinya dengan kakek saya, Slamet Soeyono. Sebelumnya, saya telah mewawancara beliau mengenai hubungannya dengan seorang Tokoh Nasional, Sutan Syahrir, namun ternyata tugas yang saya kerjakan dan saya post pada 28 April 2011 tersebut kurang tepat. Sehingga saya mohon maaf atas keterlambatan saya mengerjakan perbaikan tugas ke-2 ini, yang melebihi batas waktu yang diberikan. Berikut biografi kakek saya sebagai seorang tokoh sejarah nasional.

Kakek Saya, yang memiliki nama lengkap Slamet Soeyono, kini berusia 85 tahun. Beliau lahir di Kediri, pada 25 Desember 1925 dari kakek buyut saya, S.Djojoprawiro dan nenek buyut saya R.Ngt.S.Djojoprawiro. Beliau memiliki 3 saudara kandung, yaitu Sastromihardjo, Soeyoedi, dan Soetadji.

15 April 1952, beliau menikah dengan nenek saya, yang bernama lengkap Sri Kanti, di kota Blitar. Mereka dianugerahi 6 orang anak, 3 laki-laki dan 3 perempuan, yaitu Eko Rahardjo, Yoeliarti Rahajoeningsih, Tri Sasongko, Setyani Rahardjanti, Rahardjanto, dan Sri Lestari. Namun, kedua anaknya yang bernama Eko Rahardjo dan Rahardjo, keduanya meninggal dunia tepat 4 hari setelah mereka lahir.

Bapak Slamet Soeyono (tengah) Bersama istrinya, Sri Kanti (kanan) ditemani cucu-cucunya

Bapak Slamet Soeyono (kiri) bersama Saya sewaktu kecil tahun 1996

Slamet Soeyono menempuh pendidikannya di Sekolah Rakyat Purwoasri pada 1931-1936, lalu melanjutkan pendidikannya di Schakel School Gajah Mada, Kertosono, pada 1936-1940. Kemudian Beliau pindah ke Madiun, dan melanjutkan sekolah di BUDI UTOMO, sampai tahun 1942, ketika Jepang datang ke Indonesia. Beliau pindah ke Yogyakarta, lalu melanjutkan sekolah di Taman Dewasa hingga tahun 1945, beliau lulus dan melanjutkan ke Sekolah Dagang Menengah Tinggi hingga tahun 1946. Saat itu, beliau juga ikut aktif dalam Gerakan Pemuda Pelajar, dan mengikuti penyerbuan KIDO BUTAI di Kota Baru, serta penyerbuan di Magelang.
KIDO BUTAI atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang. Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November - perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).

Pertempuran dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945 (walau kenyataannya suasana sudah mulai memanas sebelumnya) dan berakhir tanggal 20 Oktober 1945. Berita Proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota lain, di Semarang pun rakyat khususnya pemuda berusaha untuk melucuti senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Pada tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda menggunakan taktik gerilya.

Ketika itu, Kakek saya merupakan salah satu tentara yang ikut menyerbu dalam pertempuran merebut senjata tersebut. Meski beliau dan pasukan lainnya hanya bermodalkan bambu runcing dan batu kali, namun mereka berhasil merebut senjata laras panjang seperti pistol dan senapan. Pada pagi harinya, Belanda menyerah. Namun, pertempuran tersebut cukup banyak memakan korban. Sebanyak 21 orang siswa Sekolah Menengah Tinggi Taman Madya gugur dalam pertempuran, salah satunya adalah Sareh, yang merupakan teman baik kakek saya, Slamet Soeyono. Saat itu beliau merupakan pengurus GASEMA (Gabungan Sekolah Menengah Mataram).
“Seminggu ke sekolah, lalu seminggu di peron. Begitulah aktivitas Kakek saat jaman penjajahan Jepang..”, tutur Kakek saya.

Tahun 1954, Slamet Soeyono pindah ke Jakarta, melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri,dan beliau belajar di Sekolah Kewiraswastaan selama 4 bulan. Kemudian beliau mengikuti kursus militer di Penataran Pengurusan Personil, di Ajudan Jenderal Bandung, selama 4 minggu. Tahun 1954 beliau menempuh pendidikan militer di KUPALTU dan KUPALDA di Jakarta, dan lulus pada 1955.

Setelah menempuh pendidikan bertahun-tahun, kakek saya berhasil menguasai 4 bahasa, yakni bahasa Indonesia, Belanda, Inggris, serta bahasa Jepang. Dengan kemampuannya, beliau telah mendapatkan berbagai macam jabatan dalam pekerjaannya. Beliau memulai pekerjaannya sebagai Pengajar Kursus Mengetik “Wongsoatmojo” di Jogyakarta. Tahun 1947, beliau diangkat menjadi Sekretaris Ajudan Menteri Muda Dalam Negeri.

Tahun 1948, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Partai tersebut merupakan hasil fusi gabungan yang diadakan tanggal 17 Desember 1945 antara PARSI (yang dewan partainya dipimpin oleh Amir Syarifudin,, dengan wakil ketuanya Sukindar, yang berdiri pada 12 November 1945) dan PARAS (berdiri di Cirebon pada 19 November 1945 dipimpin oleh ketua umum Sutan Syahrir). Fusi antara Parsi dan Paras tersebut menjadi Partai Sosialis yang mendukung cabinet Syahrir dengan ketuanya Amir Syarifuddin, pendukungnya di Yogyakarta kelompok pemuda Pathook dan tokoh-tokoh yang menjalin hubungan dengan Sutan Syahrir ketika Jepang sedang berkuasa. PNI dan PKI baru muncul belakangan di Yogyakarta, sebab PNI tampaknya masih menunggu sikap pemerintah lebih lanjut tentang PNI yang ditetapkan PPKI bersama BKR dan KNIP, dan tokoh-tokoh PKI masih bergabung dengan Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia.
Pada Kongres Visa penggabungan kedua partai (PARSI dan PARSA), yaitu tahun 1946 di kota Cirebon, Sutan Syahrir sedang menjabat sebagai Perdana Menteri di Jakarta, sedangkan Ketua Umum Harian saat itu adalah Bapak Wiyono Suryokusumo. Pada saat itu, Kakek saya, Slamet Soejono merupakan sekretaris pribadi (ajudan) dari Bapak Wiyono Suryokusumo yang menjabat sebagai Menteri Muda Dalam Negeri, bersamaan dengan masa terjadinya Perjanjian Linggarjati. Wiyono Suryokusumo, yang merupakan anggota kelompok Sutan Syahrir juga merupakan ketua BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan organisasi massa yang memiliki perhatian terhadap politik pemerintahan dan memiliki pengaruh besar terhadap penyusunan kembali birokrasi pemerintahan di Yogyakarta.

Sutan Syahrir di masa Partai Sosialis


Ketika Kabinet Syahrir III bubar, Bapak Wiyono Suryokusumo yang berpangkat Jendral Mayor saat itu, kembali ke Kementrian Pertahanan. Lalu Kakek Saya, Slamet Soeyono, resmi menjadi anggota TNI Angkatan Darat dengan pangkat permulaan Pegawai Menengah III Letnan Muda Tentular.

Selain itu, Slamet Soeyono juga sering berpartisipasi dalam rapat yang diadakan oleh Presiden Soekarno di Istana Kegaraan di Yogyakarta, yang umumnya membahas mengenai program-program pemeritahan dalam negeri, otonomi daerah, dan lain sebagainya. Istana Gedung Agung Yogyakarta merupakan salah satu dari enam istana negara di Indonesia. Terletak di kota Yogyakarta, Istana Gedung Agung menjadi tempat tinggal Presiden Soekarno pada tahun 1946 sebagai Istana Kepresidenan. Ini berlangsung hingga tahun 1948, ketika Presiden Soekarno pindah ke Jakarta. Peristiwa penting yang pernah berlangsung di tempat tersebut antara lain andalah pelantikan Panglima Jendral Soedirman sebagai pucuk pimpinan angkatan bersenjata di Indonesia
Setelah menjabat sebagai Sekretaris Ajudan Menteri Muda Dalam Negeri, kakek saya, Slamet Soeyono, menjadi Anggota Bagian Organisasi Jawatan Perlengkapan di Yogyakarta pada tahun 1947-1950. Dalam kedudukannya sebagai Anggota Bagian Organisasi Jawatan Perlengkapan dalam rangka pelaksanaan koordinasi atas pembekalan terhadap kesatuan-kesatuan, beliau sering sekali ditugaskan ke daerah operasi.

Kemudian pada tahun 1950, beliau merangkap menjadi Anggota K.A Dinas Pembekalan dan Angkutan Tentara di Jakarta, dengan induk kesatuan D.P.A.T. Tahun 1951, beliau diangkat menjadi Kepala Bagian Personalia di Jakarta, dengan induk kesatuan C.I.A.D. dalam kedudukan tersebut, beliau ditugaskan ke Teritorrium-2 untuk mengurus dan menyelesaikan konsolidasi organisasi dengan pengisian personil baik militer maupun sipil.

Awal tahun 1955, Bapak Slamet Soeyono, yang sedang berpangkat Letnan Satu, diangkat menjadi Instruktur SUPIAD selama 1 tahun.  Pada 1 Januari 1957, beliau naik pangkat menjadi Kapten, lalu menjabat sebagai Wakil Kepala Bagian Pembelian di Jakarta, serta merangkap sebagai Komandan Pendidikan Militerisasi Calon Bentara/Tamtama. Kemudian tahun 1959 beliau diangkat menjadi Kepala Biro Statistik Kepala Bagian Pengawasan.

Tahun 1962, Bapak Slamet Soeyono sempat ditugaskan ke luar negeri, yakni di Negara Yugoslavia. Beliau ditugaskan mengurus inspeksi pabrik-pabrik sepatu dalam kontrak sepatu Indonesia (Angkatan Darat) dengan Yugoslavia.. Hingga beliau sering ditunjuk mewakili sebagai Wadan MPP sejak Januari 1979.

Hingga akhir masa jabatannya, Bapak Slamet Soeyono telah mendapatkan sejumlah Bintang-bintang atau tanda-tanda jasa berupa: Bintang Gerilya, Setia Lencana Perang Kemerdekaan ke-1, Setia Lencana Perang Kemerdekaan ke-2, Setia Lencana Kesetiaan 8 Tahun, Dwidja Sista, Penegak, serta K.E.P. Beliau menerima Surat Tanda Jasa Pahlawan berupa “Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan 1” dan “Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan II” dari Menteri Pertahanan Republik Indonesia, sebagai Pangkat Letnan Dua.Pa. Perlengkapan Co. Djawa.

Beliau memulai derajat kepangkatannya pada 1 April sebagai Letnan Muda, lalu naik menjadi Letnan Dua pada 1 Januaru 1949, Letnan Satu pada 1 Oktober 1953, Kapten pada 1 Januari 1957, Mayor pada 1 Januari 1961, Letnan Kolonel pada 1 Januari 1965. Lalu pada 1 Juli 1972, beliau diangkat dan diresmikan sebagai Kolonel DISBEKUMAD. Bapak Slamet Soeyono pensiun dari pekerjaannya pada akhir tahun 1985. Kini beliau tinggal di Jakarta bersama keluarganya.

Berikut saya lampirkan garis besar Kepangkatan Bapak Slamet Soeyono:

1 April 1947       : Letnan Muda Tit.
1 Januari 1949    : Letnan Dua
1 Oktober 1953  : Letnan Satu
1 Januari 1957    : Kapten
1 Januari 1961    : Mayor
1 Januari 1965    : Letnan Kolonel
1 Juli 1972          : Kolonel


* * *


Nama : Inas Raras Maheningtyas
Kelas : XI IPA 1

SMA LABSCHOOL KEBAYORAN 2011




2 comments:

{ Moh. Shobirienur Rasyid } at: May 8, 2011 at 11:24 PM said...

Sayang sekali kalau informasinya sangat umum, bukan mengenai hubungan dekat tokoh dengan Syahrir atau misalnya Syahrir di mata Kakek

ms rasyid
http://wanakajir.wordpress.com/

{ Abi Rekso } at: July 20, 2015 at 6:47 AM said...
This comment has been removed by the author.

Post a Comment

 

Design modified by mugimunteng | Basic Design by Dzignine in Collaboration with Trucks, SUV, Kidney Stones